Sabtu, 30 Juli 2022

KIAT BERTAHAN PELAKU USAHA FASHION DI TENGAH PANDEMI COVID 19.

Pandemi Covid 19 yang turut ‘menyapa’ Indonesia, berdampak pada banyaknya sektor usaha yang bangkrut atau tutup. Kalau pun ada yang mampu bertahan, para pelakunya harus memutar otak supaya usahanya tidak ikut-ikutan luluh lantak. Sektor fashion menjadi salah satu yang terdampak. Para pemilik usahanya yang masuk kategori UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) terpaksa harus menutup tokonya untuk sementara waktu, juga menghentikan proses produksi.

Salah satu jenama fashion yang terkena dampak pandemi adalah Gadiza. Satu bulan pertama sejak pandemi merebak, omzet Gadiza turun drastis. Meski begitu, pemiliknya Rosie Rahmadi memastikan tidak akan merumahkan karyawannya. Yang dilakukan Rosie di masa awal pandemi adalah membangun mental diri untuk menghadapi berbagai kondisi. Dia berusaha membangkitkan semangat dan mental tim, termasuk masalah kesehatan diri. Setelah itu, dia memulai koordinasi dengan timnya untuk menyusun strategi, agar mereka tetap bisa bertahan.

Strategi pertama yang dilakukan adalah mulai melakukan aktivasi digital. Sebelumnya, Gadiza lebih banyak bergerak di penjualan langsung atau luring.  Saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), otomatis butik Maison Gadiza yang ada di Jalan Margonda, Depok tidak bisa dibuka. Aktivasi digital yang dilakukan di antaranya adalah memaksimalkan media sosial dan laman web sebagai sarana penjualan dan branding. Mereka juga menerapkan strategi diskon untuk semakin menarik orang berbelanja di toko daring mereka. Hal itu juga sekaligus menghindari penumpukan stok yang berlebih.

Konten-konten yang dibuat dalam laman web mereka adalah live shopping, review produk, photoshoot mix and match, behind the scene, hingga story telling yang menarik tentang produk Gadiza. Selain tim marketing yang fokus pada penjualan produk sales yang masih ada, Gadiza juga membentuk tim riset dan produksi yang melakukan riset lebih dalam tentang produk-produk apa saja yang memang masih dibutuhkan saat pandemi. Yang tak ketinggalan, Gadiza juga mendesain dan mengembangkan lagi produk-produk lama yang kira-kira masih cocok digunakan.

Gadiza pun akhirnya meperkenalkan kembali produk Sazia Outer sebagai kostum luaran pelindung diri. Dengan desain yang sederhana, penggunaan bahan yang ringan dan tahan air menjadikan outer ini bisa digunakan sebagai pengganti APD. Uniknya lagi, desain Sazia Outer tidak hanya bisa digunakan oleh perempuan saja, tapi juga bisa untuk laki-laki alias unisex. Dan, hanya dalam waktu singkat, Sazia Outer yang awalnya masih melimpah di gudang, langsung habis diburu pembeli dan mereka pun harus memproduksi lagi.

Sazio Outer

Permintaan Sazia Outer sebagian besar datang dari orang yang masih harus beraktivitas di luar rumah, seperti dokter, pekerja kantoran, mau pun ibu rumah tangga. Kebanyakan penggunanya memiliki lebih dari satu Sazia Outer karena harus dicuci setelah dipakai, dan keesokan harinya harus dipakai lagi untuk kembali beraktivitas di luar.

Langkah yang sama juga dilakukan jenama Ija Kroeng di Aceh. Di masa awal pandemi, Maret 2020, pemiliknya Khairul Fajri Yahya telah menghentikan aktivitas produksi selama seminggu. Saat itu, penjualan mengalami penurunan hampir 99 %. Lalu, Khairul menemukan fakta, bahwa setelah ada anjuran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) supaya masyarakat memakai masker kain sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran virus corona, permintaan masker kain meningkat tajam. Akibat dari itu, terjadi kelangkaan masker dan harganya juga tidak normal lagi di pasar.

Kebutuhan yang besar ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh  sebagian masyarakat umum untuk memproduksi masker kain sendiri dengan standar yang sudah ditentukan, baik untuk dijual maupun untuk dipakai sendiri. Lalu, untuk sektor bisnis fashion, khususnya yang memproduksi sendiri produknya atau minimal memiliki mesin jahit, termasuk salah satu yang masih mampu bertahan. Karena mereka bisa memproduksi produk-produk yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tim medis, seperti masker dan alat pelindung diri (APD).

rumah produksi Iji Krueng

Kebetulan di Aceh, tidak semua rumah produksi bisnis fashion memiliki mesin jahit sekaligus alat cetak kain. Dan, Ija Kroeng yang memiliki mesin jahit dan peralatan cetak manual di tempat produksinya langsung mengambil kesempatan itu untuk memproduksi masker berlogo Ija Kroeng. Ternyata, produk masker Ija Kroeng diterima masyarakat. Permintaannya pada saat itu sangat tinggi, sehingga mereka pun membatasi untuk satu pembeli hanya bisa membeli 10 masker saja.

Selain menjual langsung masker berlogo Ija Kroeng di media sosial dan langsung di tempat usahanya, strategi pemasaran lainnya adalah dengan memproduksi sampel masker berlogo instansi atau perusahaan, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Museum Aceh, Aceh Bussines Club, dan lainnya yang dianggap memiliki kemungkinan besar bisa memesan masker dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada masyarakat. Kemudian, foto sampel masker itu langsung dipromosikan ke relasi yang ada di instansi dan perusahaan tersebut.  

Tidak menunggu waktu lama, orderan masker kain berlogo custom pun datang silih berganti sehingga Ija Kroeng harus menambah karyawan untuk mempercepat kapasitas produksinya. Secara tidak langsung, momen itu sangat membantu dalam mempromosikan jenama Ija Kroeng pada konsumen baru yang selama ini tidak bisa dijangkau. Yang pada akhirnya bisa menjaga eksistensi Ija Kroeng, dan menguatkan posisinya di mata konsumen.

Setelah dimulainya adaptasi kebiasaan baru, acara-acara pernikahan yang diselenggarakan di masjid pun sudah mulai diizinkan lagi. Ija Kroeng melihat ada peluang di sini, dan segera berinovasi lagi memproduksi masker kain bertuliskan nama pasangan pengantin sebagai cendera mata, yang bisa dibagikan kepada seluruh tamu undatang yang datang ke acara pernikahan tersebut.

Aksi serupa pun turut dilakukan desainer Hannie Hananto. Ketika pemerintah mengumumkan adanya kasus Covid 19 di Indonesia, dia langsung bergerak dengan menyiapkan infrastruktur penjahit. Karena dia menduga, kasus ini akan lama dan akan mengubah semua sistem. Hannie lantas mengubah sistem produksinya, dengan mengirimkan bahan baku dan gambar ke penjahitnya yang ada di Sumedang. Setelah selesai dikerjakan, mereka bisa mengirim balik ke Jakarta.

Tapi selain itu, Hannie juga memiliki banyak stok baju dan hijab untuk berbagai acara yang waktu penyelenggaraannya ditunda. Lalu, bagaimana cara menjual stok yang banyak itu tanpa harus diskon besar-besaran, karena itu adalah stok yang termasuk baru ? Solusinya adalah dengan berjualan langsung di Instagram. Tak hanya di Instagram saja, Hannie juga melakukan promosi di Tiktok. Dia ikut membuat video seperti yang biasa dilakukan kaum milenial, untuk mereview produknya. Ternyata, cara itu pun mendapat respons positif karena langsung mendekatkan desainer dengan pembelinya.

Saat masker masih langka, muncul pula ide Hannie untuk membuat masker yang sesuai dengan gaya desainnya dan dapat dicocokkan dengan motif hijab atau baju rancangannya. Menurutnya, membentuk image baru dari desain kita itu sangat penting untuk langkah ke depan. Karena itulah kita perlu peka atau responsif membaca apa yang sedang tren. Hannie memahami bahwa tren itu akan terus berjalan dan berubah setiap saat. Tidak ada yang tetap di dunia, karena yang tetap adalah perubahan itu sendiri.

Desainer asal Yogyakarta, Phillip Iswardono pun juga tak menampik bahwa pandemi merupakan pukulan berat untuk semua aspek bisnis, termasuk di sektor industri kreatif, khususnya fashion. Menariknya, secara pribadi mau pun dari sisi bisnis, Phillip mengatakan, bahwa usaha fashion retail siap pakai seperti yang dia jalani saat ini tidak terlalu mengalami penurunan omzet akibat efek pandemi.

Malah katanya, pandemi justru memberikan efek positif dalam peningkatan bisnisnya. Yaitu melalui penjualan secara daring di Instagram maupun Facebook. Hal dan langkah yang dilakukan Phillip pada saat wabah mulai meluas, yang pertama adalah dengan tetap menyelesaikan order dari pelanggan yang sudah datang di minggu pertama dan kedua. Kemudian, dia juga mulai memproduksi masker dengan menggunakan bahan perca dari sisa produksi.

Selain disumbangkan secara gratis, Phillip juga menjual masker-masker itu. Dia kembali menghubungi dan berkomunikasi dengan kliennya yang datanya sudah tersimpan di database. Selanjutnya, dia juga membuat koleksi siap pakai dengan desain yang lebih simpel, tapi penekanan pada desain yang unik, harga lebih murah, dan dengan promosi gratis ongkos kirim serta bonus masker. Dan ternyata efeknya sangat luar biasa bagus dan positif.

SHMILY CUP CAKES, DISUKAI KARENA MENGGUNAKAN RESEP SENDIRI

Berjualan produk makanan secara online menjadi salah satu bisnis yang tiba-tiba naik daun selama pandemi virus corona menerpa Indonesia. Bukan hanya jenis makanan main course saja, tapi juga yang berbentuk cemilan. Mungkin karena orang tidak harus repot keluar rumah untuk mendapatkannya. Apalagi kalau rasanya enak, makanan yang dijajakan pun juga bisa laku keras di pasaran dan membuat penjualnya kewalahan menerima pesanan.

Paling tidak, itulah yang dirasakan Eloise Rhea Rompis, pemilik dari Shmily Cup Cakes. Perempuan yang akrab disapa Rhea ini mengungkapkan kalau kue buatannya yang dia jual mengalami kenaikan sampai 20 persen selama pandemi corona. Walaupun naiknya memang tidak begitu banyak, namun baginya itu sudah besar sekali. Tak heran pula bila Rhea menerima banyak pesanan. Shmily Cup Cakes memiliki deretan kue dan roti yang menarik. Selain cup cakes, terdapat pula brownie brittle, roti Thailand, dan tokyo milk cheese.

Rhea lalu menceritakan awal usahanya yang mulai didirikan sejak 2009 di Manado, Sulawesi Utara. Waktu itu, dia masih kuliah dan butuh uang saku tambahan. Karena memang suka membuat kue, dia pun memberanikan diri berjualan kue buatannya sendiri. Dengan hanya bermodal Rp 100 ribu, dia membuat berbagai kue di rumahnya lalu ditawarkan dari mulut ke mulut. Pada saat itu memang belum banyak bisnis kue yang dijual secara online.

Rupanya upaya Rhea berhasil. Dia memperoleh banyak pesanan. Tak jarang, ada pula yang memesan kuenya dengan ukuran yang besar. Dengan penuh percaya diri Rhea mengatakan kalau kue buatannya banyak yang bilang enak dan lezat. Rhea memang cukup berani menghadirkan sesuatu yang baru dan beda dari jenis kue lain yang ada di pasaran. Bahkan, dia tidak takut melakukan trial and error di setiap proses pembuatan kuenya.

Semua resep kue memang dia buat sendiri, tidak mencontek dari media soial. Setelah kuenya sudah jadi, Rhea akan mengirimkannya dulu ke orang-orang terdekat untuk tes rasa sekaligus memberi masukan. Bukan hanya kerabat dan teman saja yang dia mintai masukan. Tapi para influencer juga menjadi incarannya. Dan Rhea akan terus melakukan itu sampai betul-betul menemukan rasa yang enak untuk kuenya. Menurutnya, masukan inilah yang menjadi kunci sukses Shmily Cup Cakes.

Setelah lulus kuliah, Rhea pindah ke Jakarta pada 2012 agar bisa semakin mengembangkan usahanya. Di sinilah, dia mulai menjajakan kuenya secara online melalui akun Instagram. Sejak saat itu, bisnisnya semakin mengalami peningkatan yang berarti. Makin banyak orang yang suka dengan kue buatannya. Tapi, walaupun begitu Rhea tetap menjalankan konsep trial and error untuk mencapai rasa yang disukai pelanggan.

Melalui Instagram pula, Rhea jadi semakin banyak mengenal infulencer. Dan Rhea masih tidak ragu untuk mengirim produknya ke mereka agar bisa dicicipi. Hasilnya, tak sedikit dari para influencer itu yang akhirnya menjadi langganan. Selebritis Ruben Onsu dan Ivan Gunawan termasuk yang rutin memesan kue di Shmily Cup Cakes. Dari bisnis kuenya ini, Rhea berhasil mendapatkan omzet mencapai Rp 65 juta dalam sebulan, dengan melayani sekitar 200 pesanan. Kue yang dijual pun makin beragam dengan kisaran harga mulai Rp 35.000 sampai Rp 1 juta.

TUCA, HAND SANITIZER UNIK DAN MENGGEMASKAN

Sejak pandemi corona, banyak masyarakat yang jadi peduli pada kebersihan diri. Produk-produk yang bisa menunjang kebersihan pun diburu, salah satunya adalah hand sanitizer. Walau tidak seampuh bila mencuci tangan langsung dengan sabun, hand sanitizer setidaknya bisa membantu membersihkan tangan dari virus. Maka tak heran, bila kini hand sabitizer menjadi produk yang diminati oleh masyarakat.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh Elysia untuk berbisnis hand sanitizer produksi sendiri, yang diberi label Tuca. Berbeda dengan produk sejenis lain, Tuca menawarkan hand sanitizer dalam kemasan yang unik dan aroma yang menyegarkan. Kekhasan itulah yang pada akhirnya membuat Tuca cukup disukai, hingga membuat Elysia cukup kewalahan dalam melayani pesanan yang datang.

Elysia bercerita, idenya membangun Tuca berawal dari kesulitan yang dialaminya saat membawa hand sanitizer. Menurutnya, hand sanitizer yang ada sebelumnya, masih cukup ‘berat’ bila dibawa traveling, dan kurang enak dilihat. Berangkat dari kenyataan itu, di bulan April 2020 lalu, Elysia langsung memutuskan untuk membuat hand sanitizer sendiri yang akan dia jual. Dengan modal Rp 100 juta, selama tiga bulan Elysia melalukan riset dan uji coba produksi. Bahkan, sebelum diluncurkan dia juga sempat menjalani uji laboratorium di Kementerian Kesehatan untuk memastikan produknya ini sudah ampuh membunuh kuman.

Produk Tuca, dia katakan, menggunakan bahan-bahan alami yang lembut saat dipakai di tangan. Mulai pemakaian alkohol sampai aroma, dipilih yang organik. Karena Elysia punya prinsip apa pun yang dia konsumsi semuanya harus vegan friendly atau tidak menyakiti hewan. Setelah semua bahan dan uji laboratium sudah siap, Elysia melakukan riset lagi untuk pengemasan yang sesuai. Dan hasilnya, dia menghadirkan produk hand sanitizer yang cukup ringan dibawa dengan desain kotak dan transparan.

Setiap aroma pada hand sanitizer Tuca memang punya ciri tersendiri. Di antaranya pink, ungu, putih, biru, dan hijau. Tidak hanya itu saja, pembeli juga bisa mengukir namanya pada kemasan Tuca. Inspirasi ini menurut Elysia datang dari produk hand sanitizer yang dijual di Amerika Serikat yang memang sangat lucu sekali. Tidak hanya diukir nama saja, ingin diberi gambar sesuai keinginan kita juga bisa.

Tuca dijual dengan harga Rp 24.000 per botol, tapi bila kita memesan sampai lima buah, bisa mendapat harga grosir Rp 20.000 per buahnya. Selain itu, Tuca juga menawarkan jasa isi ulang hand sanitizer dengan harga Rp 109.000 untuk tiga kali pengisian per botol. Untuk ongkos kirim, ditanggung pelanggan. Dari bisnis yang dipasarkan melalui media sosial instagram @tuca.officialstore ini, Elysia sudah berhasil meraup omzet di atas Rp 100 juta, sejak awal memulainya di Agustus 2020.

YAGI NATURAL - PRODUK PERAWATAN KULIT BERBAHAN ALAMI

Zaman sekarang, kita dituntut untuk lebih peduli dengan alam dan sekitarnya. Tak bisa dimungkiri, bencana alam yang sering terjadi di negeri ini sedikit banyak juga karena kita tak mempedulikan alam. Limbah pabrik dan sampah pun masih jadi masalah utama. Hal itulah yang mengetuk hati seorang wanita bernama Farhaniza Dara untuk menghadirkan berbagai produk perawatan tubuh sehari-hari yang berbahan alami.

Lewat brand-nya yang bernama Yagi Natural, Dara, begitu ia biasa disapa, berhasil menghasilkan produk perawatan yang bermanfaat untuk kesehatan kulit. Di antaranya ada body butter, sampo, kondisioner, lulur, sampai sabun batang. Semua produk tersebut tentu saja terbuat dari bahan-bahan pilihan yang bisa membantu menjaga kesehatan kulit kita.

Yagi Natural sudah hadir sejak 2015. Awalnya, Dara bercerita, ia mendirikan Yagi didasari oleh masalah kesehatan yang dimilikinya. Wanita kelahiran Banda Aceh, 8 Oktober 1987 ini mengalami gangguan hormon, yang membuatnya sulit punya anak. Setelah berkonsultasi dengan dokter, ternyata masalah gangguan hormon tersebut dipengaruhi oleh makanan yang ia konsumsi selama ini. Dan tidak cuma makanan saja, produk perawatan tubuh berbahan kimia pun juga bisa mempengaruhi.

Dari situlah, Dara bertekad ingin menghasilkan produk yang berbahan alami. Lalu, tak lama kemudian secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang petani cokelat di Aceh yang menawarkan lemak cokelat. Setelah melakukan riset, Dara menemukan fakta bahwa lemak cokelat itu ternyata sangat bermanfaat untuk kesehatan kulit, salah satunya dapat mencegah penuaan dini dan melembapkan kulit.

Dengan bermodalkan uang sekitar Rp 200.000, Dara pun terus belajar kepada teman-temannya yang sudah duluan memdirikan bisnis produk perawatan. Setelah sedikit menguasai, ia mulai berani mencoba membuat produk sendiri secara autodidak di rumahnya. Produk yang pertama kali ia buat adalah body butter, yang kemudian langsung ia berikan ke teman-temannya untuk mencoba.

Dara mengaku, masa percobaan itu berlangsung selama tiga bulan. Setelah mendapat masukan dari teman, ia mulai membuka sistem pre order di Instagram. Tak disangka, produknya itu banyak peminatnya. Beberapa tahun kemudian, Dara pun mulai mendirikan pabrik, dan mengurus izin legal dari BPOM. Selain itu, ia juga memutuskan untuk kuliah lagi, mengambil pendidikan diploma tentang skin care formulation agar bisa semakin memperdalam ilmunya.

Selama menjalankan bisnisnya ini, Dara sudah banyak menemukan kekayaan alam Indonesia yang bisa dijadikan bahan dasar produknya. Selain lemak biji cokelat, ia juga memakai lemak tengkawang dari Kalimantan, yang bisa melembapkan kulit lebih lama. Lemak tengkawang pun juga berkontribusi melindungi habitat orang utan. Jadi, tidak ada pohon yang ditebang.

Lantaran produknya mengandalkan bahan alami, orang pun ternyata lebih percaya dengan brand-nya. Tak heran, dalam sebulan Dara bisa menjual sekitar 500 produk dan menghasilkan omzet sampai Rp 80 juta. Ada pun kisaran harga produknya sekitar Rp 45.000 – Rp 200.000. Pengiriman juga sudah bisa menjangkau ke seluruh Indonesia. Sekarang, Dara tak hanya jualan di Instagram @yaginatural saja. Ibu dua anak ini juga sudah merambah ke marketplace Tokopedia dan Shoppe.

BOSTEAK, CITA RAZA KELEZATAN STEAK KANADA DENGAN BUMBU LOKAL

Olahan daging steak telah lama jadi favorit orang Indonesia. Daging yang biasanya disajikan dengan saus lada hitam atau saus barbeque itu juga bisa membuat nafsu makan kita bertambah. Karena itulah, usaha restoran steak selalu meraup untung karena tak pernah sepi pelanggan. Setidaknya, itulah yang dirasakan Yuria Ekalitani, owner restoran Bosteak di Cilacap, Jawa Tengah. Menurutnya, steak jualannya memang menguntungkan, terutama saat sebelum musibah pandemi corona melanda.

Tapi begitu pandemi tiba di negeri ini, Bosteak pun mengalami penurunan omzet yang drastis, imbas dari himbauan menjaga jarak demi mencegah Covid-19 makin meluas. Tapi, kondisi tersebut justru malah membuat Yuria mengeluarkan inovasi baru, yaitu dengan menghadirkan frozen steak.

Lalu, apa keistimewaan yang ditawarkan Bosteak ? Yuria lantas bercerita, Bosteak ini berawal dari kerinduannya akan olahan daging steak khas Kanada. Ia merasa, daging steak Kanada memiliki rasa yang begitu lezat karena menggunakan rempah-rempah asal negara tersebut. Sayangnya, tak mudah bagi Yuria menemukan racikan yang tepat untuk membuat daging steak khas Kanada di Indonesia, karena sebagian besar pasokan bumbu-bumbunya masih harus impor.

Namun, Yuria enggan menyerah untuk terus mencoba. Hingga akhirnya, setelah melakukan trial and error selama tiga bulan, ia pun berhasil menemukan resep steak yang rasanya sama dengan steak Kanada, namun dengan memakai bumbu-bumbu lokal. Menurut Yuria, kita perlu bersyukur bahwa Indonesia punya kekayaan rempah-rempah yang luar biasa, seperti kunyit dan pala. Ternyata kedua bahan itulah yang bisa membuat rasa steak buatannya mirip dengan steak Kanada, bahkan lebih enak.

Setelah merasa yakin dengan rasanya, Yuria mulai menjajakan steak khasnya itu ke media sosial dengan sistem pre order untuk daerah Cilacap dan sekitarnya. Setelah mendapatkan pesanan, barulah dia mulai memasak steak tersebut untuk kemudian langsung diantarkan. Sampai saat ini, Yuria telah berhasil mengeluarkan beragam menu steak yang unik, di antaranya steak kopi, vegan, teppan beef, salmon, wagyu, sampai ayam. Semua menu tersebut dibuatnya sendiri, termasuk dengan sausnya.

Sementara untuk menu frozen steak, Yuria mengaku memang tidak mudah awalnya menemukan resep yang pas untuk membuat steak yang awet, terutama saat pengiriman. Menurutnya, keawetan daging steak disebabkan oleh kualitas dan cara penyimpanannya. Untuk daging, Yuria sudah menjamin kalau daging yang digunakan adalah yang kualitasnya paling bagus karena tanpa pengawet dan penguat rasa. Lalu untuk penyimpanan harus pada suhu -18 derajat celcius, hingga betul-betul beku maksimal dagingnya.

Tak hanya itu, saat proses pembuatan daging beku, semuanya juga harus dilakukan dengan bersih dan rapih agar daging bisa bertahan lama. Setelah diproduksi, daging langsung dimasukkan ke dalam kemasan vakum. Dengan proses seperti itu, daging steak frozen yang ia buat bisa bertahan sampai enam bulan, dan kualitas rasanya masih sama. Untuk lebih meyakinkan pelanggan, produk frozen food Bosteak juga sudah ada izin edar dari BPOM.

Dari hasil kerja keras Yuria, kini daging steak marinasi beku miliknya bisa terjual sampai 45-100 kilogram dalam sebulan, dengan kisaran omzet lebih dari Rp 35 juta. Untuk harga steak beku 100 gram dijual Rp 25.000 dan yang 200 gram harganyaRp 45.000. Yuria juga membuka kesempatan untuk reseller, dengan mendapat harga grosir terendah Rp 19.000. Steak beku Bosteak kini sudah bisa dikirim ke Jabodetabek, Banyumas, Semarang, dan area Jawa Tengah lainnya. Untuk pemesanan, Yuria sudah mengandalkan Tokopedia, Bukalapak, Shoppe, dan Gojek.

ROROKENES, TAS ANYAMAN LOKAL BERNILAI EKSKLUSIF TINGGI.

Beberapa tahun yang lalu, negara Italia sebagai salah satu pusat mode dunia memperkenalkan tas anyaman yang harganya mencapai puluhan juta rupiah. Model tas itu kemudian sempat muncul pula tiruannya, namun produksi Cina. Kenyataan itu sempat membuat Syanaz Nadya bertanya, “mengapa Indonesia tidak bisa membuatnya ?” Apalagi, anyaman adalah bagian dari budaya Indonesia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan punya nilai filosofi yang tinggi.

Syanaz lantas tergerak untuk membuat tas anyaman sendiri, setelah mendapat tantangan dari ayahnya. Menurut ayahnya, membuat itu lebih sulit daripada membeli. Akhirnya, hadirlah brand Rorokenes, produk tas anyaman artistik karya Syanaz, yang mengeksplorasi media kulit dan tenun. Sejak berdiri, Rorokenes menetapkan 90 persen penggunaan bahan lokal. Pabriknya berada di Bogor, Jawa Barat, juga ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Syanaz memilih bahan kulit sapi, kambing, dan domba. Sementara untuk tenunnya, dia bekerja sama dengan komunitas penenun perempuan di Jawa Tengah.

Sebagai pemilik, Syanaz pun turun langsung untuk mengeksplorasi bahan, warna, dan desainnya. Jika dulu ia membutuhkan waktu sebulan lebih untuk bereksplorasi, kini waktunya sudah bisa dipersingkat menjadi 21 hari saja. Tak jarang, pakem anyaman yang sudah ada di beberapa daerah harus dibongkar pasang lagi untuk menemukan motif yang baru.

Tak hanya dari anyaman jadi, sumber inspirasi untuk Rorokenes bisa dari mana saja. Tas belanja yang biasa dipakai ibu-ibu ke pasar atau keranjang penjual buah di pasar misalnya, bisa menjadi ide. Pun, tanaman sulur yang menjuntai sampai mainan anak pun juga bisa menginspirasi Syanaz untuk dijadikan motif anyaman. Misalnya saja, salah satu tas anyaman dari tenun yang Syanaz namakan Tetris. Sumber idenya adalah dari balok-balok permainan game Tetris yang dulu terkenal.

Ada pula tas anyaman yang sumber idenya dari anyaman gedek yang biasanya berbahan bambu pada bilik kayu. Setelah dieksplorasi ke dalam bentuk tas, produk tersebut membuat Rorokenes berhasil mendapatkan Anugerah Bangga Buatan Indonesia 2020 dan tampil di Mercedes – Benz Fashion Week Russia 2020.

Selain motif, Syanaz juga suka mencampur beberapa warna dalam satu kulit. Dia yang memilih warna-warnanya kemudian dikerjakan di pabrik. Biasanya, dari satu warna kulit setinggi 800 kaki bisa menghasilkan 25 sampai 28 tas dengan model dan motif anyaman yang berbeda-beda. Walau komposisi warnanya sama, tapi saat diaplikasikan ke media kulit hasilnya akan terlihat berbeda, tergantung dari ketebalan kulit, jenis kulit, dan kelembapannya.

Oleh karena itu, setiap tas produk Rorokenes tidak ada yang sama persis. Dengan warna dasar yang tidak bisa sama, lalu pemasangan warna tiap produk yang juga berbeda, hingga motif anyaman yang dipilih, Syanaz menjamin produk yang dihasilkan Rorokenes memiliki nilai eksklusif yang tinggi.

EMMY THEE, MEMBUAT PAKAIAN TANPA MENGHASILKAN KAIN SISA

Ketertarikannya akan keindahan kain lokal menjadi motivasi Emmy Thee untuk terus berkarya. Dengan brand yang memakai namanya sendiri ‘Emmy Thee’, ia menghadirkan beragam pakaian dengan konsep etnik kontemporer. Lebih dari 80 persen kain yang digunakan adalan kain wastra atau kain tradisional yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Ketika memutuskan membuat usaha pakaian untuk wanita, Emmy menyadari betapa berharganya tiap helai kain wastra. Karena proses pembuatannya sangat spesial, memadukan tangan dan hati. Maka, karena saking sayangnya, Emmy pun berusaha agar kain-kain itu tidak ada yang terbuang sama sekali. Di samping itu, Emmy juga tahu, bahwa industri fashion menjadi salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Oleh karenanya, Emmy menerapkan konsep zero waste pattern untuk produknya.

Dengan penempatan pola yang efektif, sampah hasil dari potongan kain pun bisa sampai ditiadakan. Dengan kata lain, Emmy memakai habis setiap bagian kain tanpa tersisa, sehingga tidak menghasilkan sampah. Walau pun kadang ada juga sisa-sisa kain, tapi tetap tidak ia buang. Perca-perca itu akan disimpannya untuk kemudian dimanfaatkan atau diaplikasikan ke produk yang lain.

Menariknya, dengan konsep seperti itu, Emmy menerapkan polanya secara langsung di atas manekin. Kain-kain itu ia susun, lipat, jepit sedemikian rupa sampai berbentuk sebuah pakaian. Dengan cara itu, Emmy sudah bisa menghasilkan rok, dress, dan outer yang berpola sama, menggunakan 4 potong kain yang ukurannya sama persis. Alhasil, produk ‘Emmy Thee’ punya cutting yang unik dan kadang terlihat aneh. Namun, dengan komitmen menghasilkan sesuatu yang berbeda, Emmy Thee berhasil tampil di  Mercedes Benz – Fashion Week Russia 2020.

Emmy ingin orang bisa langsung menyadari produknya saat memakai. Karena itu, ia banyak memakai potongan asimetris yang menjadi ciri khasnya. Bagian kanan dan kiri berbeda. Begitu juga bagian belakang, tak lazim seperti baju biasanya. Emmy juga mempadu padankan kain wastra dari berbagai daerah. Dalam satu baju, tidak hanya memakai tenun saja, tapi bisa dikombinasikan juga dengan lurik.

Berkat cutting yang eksperimental itu, ‘Emmy Thee’ berhasil berproduksi dengan nol sampah. Namun, di sisi lain, pelanggannya jadi lebih suka mencoba langsung sebelum membeli. Makanya, sebelum pandemi, Emmy mengandalkan penjualan secara offline seperti pameran, membuka butik di mal, sampai mengikuti bazar. Tapi sekarang, karena pelanggan tidak mau belanja ke luar, Emmy melakukan strategi jemput bola. Ia langsung mengirimkan koleksi terbarunya ke beberapa pelanggan setia. Bila ada yang cocok, bisa langsung mereka ambil, dan sisanya bisa dikembalikan.

Rupanya, cara tersebutlah yang bisa menyelamatkan ‘Emmy Thee’ selama pandemi corona. Tak heran, kini ‘Emmy Thee’ punya sekitar 1000 orang pelanggan setia. Lantas, kini berkat bantuan pemerintah, Emmy telah mendigitalisasi usahanya dan mencoba bangkit dengan berjualan secara online.