Beberapa tahun yang lalu, negara Italia sebagai salah satu pusat mode dunia memperkenalkan tas anyaman yang harganya mencapai puluhan juta rupiah. Model tas itu kemudian sempat muncul pula tiruannya, namun produksi Cina. Kenyataan itu sempat membuat Syanaz Nadya bertanya, “mengapa Indonesia tidak bisa membuatnya ?” Apalagi, anyaman adalah bagian dari budaya Indonesia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan punya nilai filosofi yang tinggi.
Syanaz lantas tergerak untuk membuat tas anyaman sendiri, setelah mendapat tantangan dari ayahnya. Menurut ayahnya, membuat itu lebih sulit daripada membeli. Akhirnya, hadirlah brand Rorokenes, produk tas anyaman artistik karya Syanaz, yang mengeksplorasi media kulit dan tenun. Sejak berdiri, Rorokenes menetapkan 90 persen penggunaan bahan lokal. Pabriknya berada di Bogor, Jawa Barat, juga ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Syanaz memilih bahan kulit sapi, kambing, dan domba. Sementara untuk tenunnya, dia bekerja sama dengan komunitas penenun perempuan di Jawa Tengah.
Sebagai pemilik, Syanaz pun turun langsung untuk mengeksplorasi bahan, warna, dan desainnya. Jika dulu ia membutuhkan waktu sebulan lebih untuk bereksplorasi, kini waktunya sudah bisa dipersingkat menjadi 21 hari saja. Tak jarang, pakem anyaman yang sudah ada di beberapa daerah harus dibongkar pasang lagi untuk menemukan motif yang baru.
Tak hanya dari anyaman jadi, sumber inspirasi untuk Rorokenes bisa dari mana saja. Tas belanja yang biasa dipakai ibu-ibu ke pasar atau keranjang penjual buah di pasar misalnya, bisa menjadi ide. Pun, tanaman sulur yang menjuntai sampai mainan anak pun juga bisa menginspirasi Syanaz untuk dijadikan motif anyaman. Misalnya saja, salah satu tas anyaman dari tenun yang Syanaz namakan Tetris. Sumber idenya adalah dari balok-balok permainan game Tetris yang dulu terkenal.
Ada pula tas anyaman yang sumber idenya dari anyaman gedek yang biasanya berbahan bambu pada bilik kayu. Setelah dieksplorasi ke dalam bentuk tas, produk tersebut membuat Rorokenes berhasil mendapatkan Anugerah Bangga Buatan Indonesia 2020 dan tampil di Mercedes – Benz Fashion Week Russia 2020.
Selain motif, Syanaz juga suka mencampur beberapa warna dalam satu kulit. Dia yang memilih warna-warnanya kemudian dikerjakan di pabrik. Biasanya, dari satu warna kulit setinggi 800 kaki bisa menghasilkan 25 sampai 28 tas dengan model dan motif anyaman yang berbeda-beda. Walau komposisi warnanya sama, tapi saat diaplikasikan ke media kulit hasilnya akan terlihat berbeda, tergantung dari ketebalan kulit, jenis kulit, dan kelembapannya.
Oleh karena itu, setiap tas produk Rorokenes tidak ada yang sama persis. Dengan warna dasar yang tidak bisa sama, lalu pemasangan warna tiap produk yang juga berbeda, hingga motif anyaman yang dipilih, Syanaz menjamin produk yang dihasilkan Rorokenes memiliki nilai eksklusif yang tinggi.
Ketertarikannya akan keindahan kain lokal menjadi motivasi Emmy Thee untuk terus berkarya. Dengan brand yang memakai namanya sendiri ‘Emmy Thee’, ia menghadirkan beragam pakaian dengan konsep etnik kontemporer. Lebih dari 80 persen kain yang digunakan adalan kain wastra atau kain tradisional yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Ketika memutuskan membuat usaha pakaian untuk wanita, Emmy menyadari betapa berharganya tiap helai kain wastra. Karena proses pembuatannya sangat spesial, memadukan tangan dan hati. Maka, karena saking sayangnya, Emmy pun berusaha agar kain-kain itu tidak ada yang terbuang sama sekali. Di samping itu, Emmy juga tahu, bahwa industri fashion menjadi salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Oleh karenanya, Emmy menerapkan konsep zero waste pattern untuk produknya.
Dengan penempatan pola yang efektif, sampah hasil dari potongan kain pun bisa sampai ditiadakan. Dengan kata lain, Emmy memakai habis setiap bagian kain tanpa tersisa, sehingga tidak menghasilkan sampah. Walau pun kadang ada juga sisa-sisa kain, tapi tetap tidak ia buang. Perca-perca itu akan disimpannya untuk kemudian dimanfaatkan atau diaplikasikan ke produk yang lain.
Menariknya, dengan konsep seperti itu, Emmy menerapkan polanya secara langsung di atas manekin. Kain-kain itu ia susun, lipat, jepit sedemikian rupa sampai berbentuk sebuah pakaian. Dengan cara itu, Emmy sudah bisa menghasilkan rok, dress, dan outer yang berpola sama, menggunakan 4 potong kain yang ukurannya sama persis. Alhasil, produk ‘Emmy Thee’ punya cutting yang unik dan kadang terlihat aneh. Namun, dengan komitmen menghasilkan sesuatu yang berbeda, Emmy Thee berhasil tampil di Mercedes Benz – Fashion Week Russia 2020.
Emmy ingin orang bisa langsung menyadari produknya saat memakai. Karena itu, ia banyak memakai potongan asimetris yang menjadi ciri khasnya. Bagian kanan dan kiri berbeda. Begitu juga bagian belakang, tak lazim seperti baju biasanya. Emmy juga mempadu padankan kain wastra dari berbagai daerah. Dalam satu baju, tidak hanya memakai tenun saja, tapi bisa dikombinasikan juga dengan lurik.
Berkat cutting yang eksperimental itu, ‘Emmy Thee’ berhasil berproduksi dengan nol sampah. Namun, di sisi lain, pelanggannya jadi lebih suka mencoba langsung sebelum membeli. Makanya, sebelum pandemi, Emmy mengandalkan penjualan secara offline seperti pameran, membuka butik di mal, sampai mengikuti bazar. Tapi sekarang, karena pelanggan tidak mau belanja ke luar, Emmy melakukan strategi jemput bola. Ia langsung mengirimkan koleksi terbarunya ke beberapa pelanggan setia. Bila ada yang cocok, bisa langsung mereka ambil, dan sisanya bisa dikembalikan.
Rupanya, cara tersebutlah yang bisa menyelamatkan ‘Emmy Thee’ selama pandemi corona. Tak heran, kini ‘Emmy Thee’ punya sekitar 1000 orang pelanggan setia. Lantas, kini berkat bantuan pemerintah, Emmy telah mendigitalisasi usahanya dan mencoba bangkit dengan berjualan secara online.
Puisi Potret Pembangunan dalam Puisi ini di tulis sekitar tahun 1974, saat terjadi peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari). Kemudian kumpulan sajak ini diberi pengantar Rendra dengan mengutip salah satu bagian dari puisinya:
Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan Ada anak burung terjatuh di sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan Kesaksian harus diberikan Agar kehidupan bisa terjaga
Rendra, Yogya, 1974
Sedikit mengulas mengenai puisi Potret Pembangunan dalam Puisi terdiri atas 25 sajak. Sebagian besar sajak-sajak dalam puisi ini berisi protes terhadap dunia pendidikan. Kritik ini diberikan terutama karena pendidikan tidak menjawab tuntutan pembangunan sehingga juga tidak menjawab masalah ketenagakerjaan.
Kemudian menyusul kritik sosial terhadap ketidak adilan yang nampak baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang ekonomi. Ketidakadilan itu juga tercermin pada kesenjangan yang menyolok antara si kaya dengan si miskin. Ketidakadilan itulah yang menyebabkan penyair seolah mendengar “jerit hewan yang terluka“.
Hal lain yang merupakan ulangan dari tema-tema yang pernah dikemukakan ialah kritik Rendra terhadap ketidaktulusan para pelayan masyarakat. Pemimpin-pemimpin kurang memiliki ketulusan hati dalam melayani masyarakat. Juga dikemukakan kemunafikan dan moralitas.
Masalah pendidikan dengan ekonomi erat hubungannya dengan masalah urbanisasi dan pengangguran. Disamping itu juga berkaitan dengan sistem ekonomi yang berlaku pada saat itu. Masalah-masalah tersebut juga tidak luput dari perhatian Rendra. Dapat dikatakan bahwa PPDP (Potret Pembangunan dalam Puisi) menjangkau bidang lingkup yang lebih luas dari pada puisi-puisinya terdahulu.
Tak hanya itu saja, masalah lain yang juga mendapat perhatian penyair ialah: anak muda yang tanpa harapan masa depan, orang tua tersia dan kesepian, cinta, pengorbanan yang sia-sia, cinta yang total, demokrasi yang hanya merupakan impian, orang miskin dan sebgainya.
Itulah selayang pandang tentang Potret Pembangunan dalam Puisi, dan segera saya akan membuatkan analisis dari tema puisi tersebut. Em.. mungkin bukan analisisnya ya, tapi membahas lebih dalam lagi tema-tema dari Potret Pembangunan dalam Puisi.
Di tahun politik semuanya menjadi tak karuan, rakyat mulai dibuat bingung oleh ulah para politisi. Kami tak tahu mana yang harus kami percayai. Apakah lumprahnya politik memang demikian?
Malam ini saya menyaksikan siaran langsung ILC di TV One, tema yang di perbincangkan yaitu “Kotak Suara Kardus”. Pendapat para pakar mengenai hal tersebut tentunya berbeda-beda, ini hal yang wajar. Namun dari pendapat-pendapat tersebut membuat saya tersenyum dan terkadang tertawa kecil. Bagaimana tidak? Hal sesepele ini harus menghadirkan para pakar hebat. Bobot dan kapasitas cara berpikir mereka lebih baik digunakan untuk hal lainnya yang lebih bermanfaat dari pada sekedar kardus.
Sebenarnya jika kita mau memahami permasalahan tersebut, itu simpel sekali. Sebenarnya hanya masalah kepercayaan publik. Jika publik sudah tidak percaya, kotak suara mau di desain seperti apaun dan dari bahan apapun, mereka (publik) tetap akan timbul kecuriagaan (tidak percaya).
Nah, solusi terbaik menurut saya yaitu berikan kepercayaan kepada KPU dan selanjutnya tugas KPU yang meyakinkan publik bahwa pemilu dapat dilaksanakan dengan jurdil, selesai masalah. Tidak perduli mau pakai kardus, katong kresek, mau pake karung dan lain sebagainya, publik akan tetap percaya jika KPU mampu membangun opini yang baik. Bagi parpol yang tidak percaya dengan kinerja KPU, silakan kawal dari proses pemungutan suara, tapi jangan pernah sesekali menyuarakan hal apaun yang menjatuhkan penyelenggara pemilu (KPU), sebab dengan demikian kepercayaan publik kepada KPU akan tetap terjaga.
Dari beberapa kali KPU menyelenggarakan hajat besar yaitu pemilu, bisa kita katakan sukses. Lalu mau apalagi?
Di sini saya setuju sekali dengan pendapat Mbah Kakung Sujiwo Tejo, Mau siapapun yang jadi presiden toh kita tetap kerja, kalau Mbah Kakung Sujiwo Tejo tetap di dunia seninya, sedangkan saya di dunia blogging.
Dari unek-unek yang dituliskan di blog pribadi saya ini, sungguh tak ada unsur kebencian kepada pihak manapun, dan apabila dalam tulisan ini mengandung muatan yang menyudutkan salah satu pihak atau kelompok, atas nama pribadi saya mohon maaf yang setulus-tulusnya. Sebelum saya akhiri sedikit kritik dari saya “Tolong jangan buat kami bingung”.
Kemarin di artikel yang berjudul “Rendra; Potret Pembangunan dalam Puisi” saya sudah berjanji akan membahas tentang tema-tema dari Potret Pembangunan dalam Puisi (PPDP). Langsung saja, tema utama dari PPDP adalah pamflet, yakni kritik sosial yang diberikan kepada penguasa dan yang berwenang agar memperhatikan hal-hal yang pincang di dalam masyarakat. Kritik sosial itu diberikan dengan nada keras dan satiris, oleh sebab itu banyak kita jumpai kata-kata kasarmirip umpatan untuk mewakili puisinya itu.
Tema-tema puisi dalam PPDP secara logis adalah sebagai berikut:
A. Kritik terhadap dunia pendidikan
Kritik terhadap dunia pendidikan dapat kita hayati dalam puisi-puisi: “Sajak Sebatang Lisong“, “Sajak Anak Muda“, “Sajak SLA“, “Sajak Seonggok Jagung“, “Sajak pertemuan mahasiswa“, “Sajak Potret Keluarga” dan “Sajak Ibunda“.
Dalam “Sajak Sebatang Lisong” dibicarakan tidak adanya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan mengoper teori dan rumus dari negara lain tanpa mengolahnya disesuaikan dengan kebutuhan kita sendiri. Kita tidak berusaha turun ke desa-desa, mencatat semua gejala di lapangan untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap masalah pendidikan dan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
Matahari terbit/ fajar tiba/ Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/ tanpa pendidikan. ………………………………………………………………………………….. Delapan juta kanak-kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pohonan/ tanpa dengan persinggahan/ Tanpa ada bayangan ujungnya. ………………………………………………………………………………….. Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/ Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti merumus keadaan/ Kita mesti keluar kejalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/
(PPDP: 30-31)
Kutipan diatas menunjukan bahwa dunia pendidikan kita (saat itu) tidak mempertimbangkan relevansi yang hendak dicapai sesuai dengan tuntutann masyarakat. Rendra memandang bahwa:/Berjuta-juta harapan ibu bapak/ menjadi gebalau yang kacau/ menjadi karang di bawah moka samodra/.
Dalam “Sajak Anak Muda” Rendra melihat bahwa ada yang kurang dalam dunia pendidikan negeri kita, yakni pendidikan politikm filsafat dan logika. Akibatnya Rendra menyatakan bahwa generasi muda kita menjadi generasi gagap, tidak mengerti uraian pikiran lurus dan hanya dipersaingkan untuk menjadi alat belaka. Karena pendidikan tidak melatih berpikir dan pertukaran pikiran, maka yang dihasilkan adalah orang-orang patuh, santai dan masa bodoh terhadap lingkungannya dan terhadap masa depannya.
Didalam kegagapan/kita hanya bisa membeli dan memakai/ tanpa bisa mencipta/ Kita tidak bisa memimpin/ tetapi hanya bisa berkuasa/ Persei seperti bapa-bapa kita. ………………………………………………………………………………….. Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat/ Disana anak-anak memang disiapkan/ Untuk menjadi alat dari industri/ Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti/ Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?/ Kita hanya menjadi alat birokrasi!/ Dan birokrasi menjadi berlebihan/ tanpa kegunaan/ menjadi benalu di dalam dahan ………………………………………………………………………………….. Pendidikan tidak memberi pemecahan/ Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan/ Gelap. Kelu kesahku gelap/ Orang yang hidup di dalam pengangguran ………………………………………………………………………………….. Seseorang berhak diberi ijazah dokter/ dianggap sebagai orang terpelajar/ tanpa di uji pengetahuannya akan keadilan/ Dan bila ada tirani merajalela/ ia diam tidak bicara/ kerjanya cuma menyuntik saja ………………………………………………………………………………….. Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum/ dianggap sebagai benderara-bendera upacara/ sementara hukum dihianati berulang kali/ Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi/ dianggap bunga plastik/ sementara ada kebangkrutan dan korupsi
(PPDP: 35-36)
Kutipan-kutipan diatas menunjukan bahwa kurang adanya relevansi pendidikan dengan lapangan pekerjaan dan kebutuhan masyarakat. Yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya orang yang pandai dan terampil, tetapi juga manusia yang peka akan keadaan masyarakat. Dokter, sarjana hukum dan sarjana ekonomi dipandang hanya menguasai spesialisnya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi tidak mampu mengamalkan ilmunya untuk perbaikan keadaan masyarakat.
B. Kritik Terhadp Ketidakadilan
Rendra secara ajeg mengkritik ketidak adilan selama 25 tahun. Maka Teeuw secara berlebih-lebihan menyebut Rendra sebagai “nabi perikemanusiaan selama 25 tahun terakhir di Indonesia“.
Dalam “Sajak Gadis dan Majikan” digambarkan penderitaan seorang gadis karena sikap sewenang-wenang sang majikan. Rendra membuat lukisan tentang kebobrokan moral para majikan yang melakukan skandal hubungan (s e k s u a l) dengan gadis-gadis pegawainya yang tidak berdaya. Uang sang majikan berkuasa menentukan jalan kehidupan sang gadis.
Janganlah tuan seenaknya memelukku/ Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu/ Aku bukan ahli ilmu menduga/ tetapi jelas sudah kutahu/ pelukan ini apa artinya.
Juli 1975 (PPDP: 45-46)
Dalam sajak yang dikutip diatas, dapat dilihat ketidak berdayaan sang gadis dalam menghadapi ketidakadilan perlakuan sang majikan karena masyarakat berkecendrungan untuk membantu tindakan-tindakan yang kurang baik tersebut. Kritik yang di kemukakan disini juga dapat dihubungkan dengan dekadensi moral. Dalam suasana perkembangan ekonomi yang secara mendadak mencapai tingkat kemakmuran yang begitu tinggi, seiring orang lupa daratan pula. Karena kebetulan baru punya uang, mereka merasa semua dapat dibeli dengan uang. Nilai-nilai moralitas dikorbankan untuk pemuasan hawa nafsu sesaat yang ternyata sangat merugikan pihak lain (dalam hal ini gadis yang menjadi pegawai sang majikan).
C. Kritik Keadaan Politik dan Ekonomi
Kritik terhadap keadaan pendidikan dan kepincangan sosial ekonomi, langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kritik politik dan ekonomi. Oleh sebab itu, klasifikasi ini hanya di kemukakan untuk mempertegas isi kritik tersebut. Sajak-sajak yang mengungkapkan kritik politik dan ekonomi juga nampak merata dalam seluruh karya Rendra dalam PPDP ini.
Sistem politik yang tidak membebaskan kritik dikemukakan penyair lewat beberapa puisinya, yakni “Aku Tulis Pamflet Ini“, “Sajak Pertemuan Mahasiswa” dan “Sajak mata-mata“. Dalam “Aku Tulis Pamflet Ini“, Rendra mempertanyakan mengapa kritik terhadap keadaan sosial tidak dibebaskan.
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi/ maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam/ Lembaga pendapat umum tidak memandang pertanyaan/ Tidak memandang perdepatan/ Dan, akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.
(PPDP: 27)
Dalam “Sajak Pertemuan Mahasiswa” nampaklah didepan kita mahasiswa-mahasiswa yang kurang bersemangat dan kurang bergairah karena menimbang kebebasan berpendapat dan mengemukakan kritik-kritik kurang terbuka.
Kita bertanya:/ kenapa maksud baik tidak selalu berguna/ Kenapa maksud baik dan maksud bias berlaga/ Orang bertanya: “Kami ada maksud baik”/ Dan kita bertanya: “maksud baik untuk siapa?” ………………………………………………………………………………….. Kita ini dididik untuk memihak mana?/ ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan/ ataukah alat penindasan?
(PPDP: 50-51)
Dalam “Sajak Mata-mata” kita juga berhadapan dengan tidak berfungsinya kritik yang sedikit terbuka di dalam sistem sosial politik sehingga timbul suasana saling mencurigai. Koran yang seharusnya banyak menyuarakan nurani mereka yang tertindas, nampak berfungsi kurang baik.
D. Kritik Terhadap Dekadensi Moral
Kemunafikan sangat dibenci oleh sang penyair. Dekadensi moral tumbuh meningkat bersama dengan meningkatkan ekonomi masyarakat karena proses modernisasi. Dalam keadaan dekadensi moral, orang-orang yang seharusnya memimpin rakyat dan meningkatkan pendapatan rakyat justru lupa akan tugasnya. Kehidupan konsumtif dalam berbagai bidang telah menyebabkan orang-orang yang menjadi pemimpin menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan mencoba menghamburkan uang ke dalam tindakan konsumtif tinggi. Moralpun tidak dijadikan pertimbangan tingkah lakunya. Dekadensi moral juga melanda dunia pendidikan dimana seorang murid berani “mengobel” ibu gurunya.
Dalam “Sajak Gadis dan Majikan” nampak jelas hancurnya moral sang majikan. Meningkatkan tata ekonomi sang maijikan disusul dengan merosotnya moral sang majikan itu pula.
E. Sajak-Sajak Yang Bersifat Pribadi
Dalam kumpulan sajaknya ini penyair juga menyisipkan sajak-sajak yang bersifat renungan-renungan pribadi atau pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan tidak berhubungan dengan kritik atau pamflet. Namun demikian, renungan pribadi itu secara tidak langsung juga menyatakan penderitaan karena keadaan yang belum sesuai dengan harapnya.
Sejumlah kasus di tengah masyarakat, yang bersumber dari perbedaan pendapat atau konflik kepentingan antara pemerintah dan rakyat, saya perhatikan sering kali bergeser subtansinya. Misalnya, dari subtansi “tanah” berubah menjadi persoalan “harga diri”.
Lingsem (Jawa) adalah sesuatu keadaan psikologi ketika seseorang mempertahankan sesuatu tidak lagi karena objektivitas suatu persoalan, karena fokus permasalahannya sudah menjadi bagian dari privacy harga diri.
Pergeseran itu bisa terjadi karena kadar subjektivitas pelakunya, tetapi bagian dalam kasus-kasus yang saya maksudkan ia lebih bersumber pada ketidaktepatan pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Dalam situasi lingsem, orientasi para pelaku konflik bukan hukum lagi target dan efektivitas penyelesaian masalah melainkan subjektivitas rasa untuk tidak mau kalah atau untuk harus menang. Dan kalau soalnya sudah terpolarisasi menjadi kerangka kalah menang, sesungguhnya peluang yang teersedia paling lebar adalah tampilnya kekuasaan.
Ini sangat rawan. Karena, kita langsung dapat membayangkan arti kekuasaan bagi suatu otoritas politik yang disebelah tangannya tergenggam peralatan militer. Juga bisa kita bayangkan bahwa arti kekuasaan bagi pihak yang menggengam otoritas adalah tidak lain kesediaan untuk mati, “bunuh diri”, atau setidak-tidaknya sikap “masokhisme”.
Jika situasi lingsem tak bisa dikurangi dan jika belalunya waktu menyeret persoalan itu kesuatu momentum ketika upaya penyelesaian tak lagi bisa ditunda; “teori”-nya, yang sangat mungkin terjadi adalah lagi-lagi “misteri politik” ketika data tentang yang kalah dan yang menang, tak lagi bisa dilacak di lembar-lembar manapun dari buku-buku sejarah.
Kalau sudah demikian, yang kalah bukan lagi sejumlah orang. Yang kalah adalah kemanusiaan, kedewasaan, demokrasi, peradaban dan nilai-nilai luhur lain yang semestinya menjadi tanda-tanda utama dari kehidupan manusia.
Keterikat dan ketergantungan komunitas manusia sistem-sistem institusi, birokrasi, relatifnya kadar keadilan suatu peratuaran atau undang-undang akan memepersulitkan kemungkinan penyelesaian persoalan, atau setidaknya kurang akomodatif terhadap kemungkinan formula-formula problem solving atas permasalahan.
Terkadang, naifnya, agar keadilan bisa dicapai atau didekati, diperlukan “pelanggaran” terhadap aturan-aturan tertentu yang sudah terlanjur memiliki keabsahan yang yuridis dan birokratis. mengapa? karena aturan-aturan tersebut lahir tidak sungguh-sungguh di bidangi oleh rasa pemahaman keadilan yang mendalam. Maka, salah satu sisi potret kasunya adalah konflik peraturan melawan keadilan.
Keadaan menjadi sangat runyam tatkala juga karena lingsem suatu pihak berlindung pada logika birokrasi untuk mengidentifikasikan keadilan dengan peraturan dan undang-undang, kemudian antara peraturan serta undang-undang dan otoritas kepemerintahan, kemudian antara otoritas kepemerintahan dan otoritas negara. Padahal realitas permasalahan tersebut menujukan polarisasi antara negara dan rakyat.
“Film” realitas tersebut akhirnya menjadi serial dan mungkin horor; di satu pihak ada pemerintah dengan wajah negara, dilain pihak ada rakyat berwajah pembangkang negara. Padahal, pemerintah tidak selalu sama dan sebangun dengan negara. Bahkan, bisa saja kepentingan pemerintah berbeda atau bertentangan dengan kepentingan negara.
Padahal juga, wajah pembangkangan rakyat itu tercipta dari tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan sesuatu hal yang menyangkut mereka. Sangatlah tidak bahagia untuk hidup di suatu negara tempat ada kasus-kasus yang membuat pemerintah hanya bisa melihat rakyat sebagai “pembangkang”. Sebaliknya, rakyat juga hanya bisa melihat pemerintah sebagai “pembangkang kedaulatan rakyat”.
Padahal, rakyat negeri kita terkenal gampang diajak bermusyawarah, lunak hatinya, luas dadanya, tinggi kesediaannya untuk berkorban demi kemajuan dan pembangunan.
Atau, Justru karena itu mereka lantas dianggap tidak perlu dijadikan subjek pembangunan yang turut memproses hari depannya, terutama untuk soal-soal yang langsung terkait dengan kepentingan mereka?
Yang tersisa hanya ada hanya ada dua pertanyaan; Pertama, mungkin peraturan diralat? Ataukah, SK dan DIP, atau bahkan undang-undang, itu sama mutlaknya dengan Allah SWT yang hakikat eksistensinya tak mungkin diubah oleh siapapun? Kedua, Formula kemanusian dan kearifan macam apakah yang bisa mengatasi status perundangan dan subjektivitas lingsem yang memang manusiawi itu?
Tangan siapa yang cukup sakti dan berwibawa untuk sanggup menggenggam formula ampuh itu?
Hari ini sedikit pusing, karena kurang tidur. Semalam begadang main game sampai larut terus waktu mau tidur malah tidak bisa. Akhinya saya membaca buku “Spiritual Journey” karya Cak Nun. Ada hal yang menarik dan beberapa saya lingkari dengan pensil alis. salah satunya yaitu tentang Kesehatan Adalah Amanah Jadi Tolong Jagalah.
Amanah yang Allah beri terhadap tubuh kita tolong dijaga benar-benar. Jangan sampai kamu wiridan sampai lama hingga paru-parumu sakit. Lebih baik kita tidak wiridan atau wiridan sedikit saja. Karena, menjaga kesehatan adalah salah satu jenis wiridan juga.
Kunci menjaga kesehatan adalah niteni sekecil apapun gejala-gejala di tubuh kita. Saya akan tuliskan hasil seleksi bagian penting yang saya tandai dengan pensi alis. Empat rahasia tips sehat, tapi tolong jangan sampai rahasia ini di bocorkan kepada para koruptor dan tikus-tikus ibu kota.
Pertama, faktor utama kesehatan adalah menjalani cara hidup (pola hidup), pola makan, irama kerja-istirahat dan seterusnya yang membuat seluruh perangkat tubuh kita selalu memiliki daya tahan yang mencukupi untuk berperang melawan setiap potensi sakit dan serangan penyakit. Setiap orang bharus mengenali dirinya sendiri dalam konteks tersebut dan selalu saling bercermin satu sama lain.
Kedua, 70 persen sakit sumbernya dismanajemen hal diatas: potensi sakit dari dalam atau jasad keadaan sendiri tidak diantisipasi dengan pola hidup yang tepat, 20 persen penyakit datang dari luar. Kansnya 50:50 untuk dapat ditahan atau tidak. Yang 10 persen sakit atas perintah Allah untuk hukuman, peringatan atau ujian.
Ketiga, Pemahaman tentang sakit dari sehat terus dinamis dan berkembang. Setiap orang perlu menjadi dokter atau dukun bagi dirinya sendiri, kita harus pahami gejala-gejala yang timbul dalam tubuh kita, janagn sedikit -sedit protes sama Allah. Kalau seperti ini saya harus begini, kalau seperti kita harus pergi kesini dan seterusnya.
Keempat, Kalau kita sakit wiridan, iya tidak ada yang salah. Tapi, wirid dan zikir tidak boleh dijadikan andalan utama. Sebab, ia hanyalah salah satu alat atau senjata pertahanan subjek atau khalifah yang ditangannya terdapat berbagai konsep dan formula tentang kesehatan. Alat ini tentu saja sangat penting terutama untuk menembus perkenaan ajai Allah untuk membuat sakit atau sehat. bagi kita yang awam, ya hurus ke dokter ataupun cari pengobatan alternatif.
Pengecualian, kasus ini sering terjadi di daerah saya:
Sudah datang ke dokter tak terdiagnosa dan mencari pengobatan alternatif tak kunjung sembuh, tenyata penyebanya adalah santet. Ini selalu banyak pertentangan, oleh orang berdasi yang duduk di belakang kursi dengan segudang teori tanpa ada realisasi. Mereka tak percaya bahwa pisau dan gelati bisa masuk kedalam rongga hati seseorang. (itu santet atau curcol ya?he)
Begini saya punya cerita dan cerita ini benar adanya. Rosulullah SAW pernah di santet oleh janda Yahudi yang suaminya tewas dalam perang melawan pasukan Rosulullah SAW.
Dari cerita saya tersebut dapat kita ambil hikmahnya “jika Allah saja mengizinkan kekasih hatinya di santet orang, apalagi kita-kita ini. Raimu!!!
Kesehatan Adalah Amanah Jadi Tolong Jagalah. Karena menjaga amanah besar pahalanya.