Tema-tema puisi dalam PPDP secara logis adalah sebagai berikut:
A. Kritik terhadap dunia pendidikan
Kritik terhadap dunia pendidikan dapat kita hayati dalam puisi-puisi: “Sajak Sebatang Lisong“, “Sajak Anak Muda“, “Sajak SLA“, “Sajak Seonggok Jagung“, “Sajak pertemuan mahasiswa“, “Sajak Potret Keluarga” dan “Sajak Ibunda“.
Dalam “Sajak Sebatang Lisong” dibicarakan tidak adanya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan mengoper teori dan rumus dari negara lain tanpa mengolahnya disesuaikan dengan kebutuhan kita sendiri. Kita tidak berusaha turun ke desa-desa, mencatat semua gejala di lapangan untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap masalah pendidikan dan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
Matahari terbit/ fajar tiba/ Dan aku melihat delapan juta
kanak-kanak/ tanpa pendidikan.
…………………………………………………………………………………..
Delapan juta kanak-kanak/ menghadapi satu jalan panjang/
tanpa pilihan/ tanpa pohonan/ tanpa dengan persinggahan/
Tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………………………………………………………………………..
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/ Diktat-diktat hanya boleh
memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti merumus keadaan/ Kita mesti
keluar kejalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/
(PPDP: 30-31)
Kutipan diatas menunjukan bahwa dunia pendidikan kita (saat itu) tidak mempertimbangkan relevansi yang hendak dicapai sesuai dengan tuntutann masyarakat. Rendra memandang bahwa:/Berjuta-juta harapan ibu bapak/ menjadi gebalau yang kacau/ menjadi karang di bawah moka samodra/.
Dalam “Sajak Anak Muda” Rendra melihat bahwa ada yang kurang dalam dunia pendidikan negeri kita, yakni pendidikan politikm filsafat dan logika. Akibatnya Rendra menyatakan bahwa generasi muda kita menjadi generasi gagap, tidak mengerti uraian pikiran lurus dan hanya dipersaingkan untuk menjadi alat belaka. Karena pendidikan tidak melatih berpikir dan pertukaran pikiran, maka yang dihasilkan adalah orang-orang patuh, santai dan masa bodoh terhadap lingkungannya dan terhadap masa depannya.
Didalam kegagapan/kita hanya bisa membeli dan memakai/ tanpa bisa
mencipta/ Kita tidak bisa memimpin/ tetapi hanya bisa berkuasa/ Persei seperti
bapa-bapa kita.
…………………………………………………………………………………..
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat/ Disana anak-anak memang
disiapkan/ Untuk menjadi alat dari industri/ Dan industri mereka berjalan
tanpa berhenti/ Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?/ Kita hanya
menjadi alat birokrasi!/ Dan birokrasi menjadi berlebihan/ tanpa kegunaan/
menjadi benalu di dalam dahan
…………………………………………………………………………………..
Pendidikan tidak memberi pemecahan/ Latihan-latihan tidak memberi
pekerjaan/ Gelap. Kelu kesahku gelap/ Orang yang hidup di dalam
pengangguran
…………………………………………………………………………………..
Seseorang berhak diberi ijazah dokter/ dianggap sebagai orang terpelajar/
tanpa di uji pengetahuannya akan keadilan/ Dan bila ada tirani merajalela/
ia diam tidak bicara/ kerjanya cuma menyuntik saja
…………………………………………………………………………………..
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum/ dianggap sebagai benderara-bendera
upacara/ sementara hukum dihianati berulang kali/ Mahasiswa-mahasiswa
ilmu ekonomi/ dianggap bunga plastik/ sementara ada kebangkrutan dan
korupsi
(PPDP: 35-36)
Kutipan-kutipan diatas menunjukan bahwa kurang adanya relevansi pendidikan dengan lapangan pekerjaan dan kebutuhan masyarakat. Yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya orang yang pandai dan terampil, tetapi juga manusia yang peka akan keadaan masyarakat. Dokter, sarjana hukum dan sarjana ekonomi dipandang hanya menguasai spesialisnya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi tidak mampu mengamalkan ilmunya untuk perbaikan keadaan masyarakat.
B. Kritik Terhadp Ketidakadilan
Rendra secara ajeg mengkritik ketidak adilan selama 25 tahun. Maka Teeuw secara berlebih-lebihan menyebut Rendra sebagai “nabi perikemanusiaan selama 25 tahun terakhir di Indonesia“.
Dalam “Sajak Gadis dan Majikan” digambarkan penderitaan seorang gadis karena sikap sewenang-wenang sang majikan. Rendra membuat lukisan tentang kebobrokan moral para majikan yang melakukan skandal hubungan (s e k s u a l) dengan gadis-gadis pegawainya yang tidak berdaya. Uang sang majikan berkuasa menentukan jalan kehidupan sang gadis.
Janganlah tuan seenaknya memelukku/ Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu/ Aku bukan ahli ilmu menduga/ tetapi jelas sudah kutahu/ pelukan ini apa artinya.
Juli 1975
(PPDP: 45-46)
Dalam sajak yang dikutip diatas, dapat dilihat ketidak berdayaan sang gadis dalam menghadapi ketidakadilan perlakuan sang majikan karena masyarakat berkecendrungan untuk membantu tindakan-tindakan yang kurang baik tersebut. Kritik yang di kemukakan disini juga dapat dihubungkan dengan dekadensi moral. Dalam suasana perkembangan ekonomi yang secara mendadak mencapai tingkat kemakmuran yang begitu tinggi, seiring orang lupa daratan pula. Karena kebetulan baru punya uang, mereka merasa semua dapat dibeli dengan uang. Nilai-nilai moralitas dikorbankan untuk pemuasan hawa nafsu sesaat yang ternyata sangat merugikan pihak lain (dalam hal ini gadis yang menjadi pegawai sang majikan).
C. Kritik Keadaan Politik dan Ekonomi
Kritik terhadap keadaan pendidikan dan kepincangan sosial ekonomi, langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kritik politik dan ekonomi. Oleh sebab itu, klasifikasi ini hanya di kemukakan untuk mempertegas isi kritik tersebut. Sajak-sajak yang mengungkapkan kritik politik dan ekonomi juga nampak merata dalam seluruh karya Rendra dalam PPDP ini.
Sistem politik yang tidak membebaskan kritik dikemukakan penyair lewat beberapa puisinya, yakni “Aku Tulis Pamflet Ini“, “Sajak Pertemuan Mahasiswa” dan “Sajak mata-mata“. Dalam “Aku Tulis Pamflet Ini“, Rendra mempertanyakan mengapa kritik terhadap keadaan sosial tidak dibebaskan.
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi/ maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam/ Lembaga pendapat umum tidak memandang pertanyaan/ Tidak memandang perdepatan/ Dan, akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.
(PPDP: 27)
Dalam “Sajak Pertemuan Mahasiswa” nampaklah didepan kita mahasiswa-mahasiswa yang kurang bersemangat dan kurang bergairah karena menimbang kebebasan berpendapat dan mengemukakan kritik-kritik kurang terbuka.
Kita bertanya:/ kenapa maksud baik tidak selalu berguna/ Kenapa maksud baik dan maksud bias berlaga/ Orang bertanya: “Kami ada maksud baik”/ Dan kita bertanya: “maksud baik untuk siapa?”
…………………………………………………………………………………..
Kita ini dididik untuk memihak mana?/ ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan/ ataukah alat penindasan?
(PPDP: 50-51)
Dalam “Sajak Mata-mata” kita juga berhadapan dengan tidak berfungsinya kritik yang sedikit terbuka di dalam sistem sosial politik sehingga timbul suasana saling mencurigai. Koran yang seharusnya banyak menyuarakan nurani mereka yang tertindas, nampak berfungsi kurang baik.
D. Kritik Terhadap Dekadensi Moral
Kemunafikan sangat dibenci oleh sang penyair. Dekadensi moral tumbuh meningkat bersama dengan meningkatkan ekonomi masyarakat karena proses modernisasi. Dalam keadaan dekadensi moral, orang-orang yang seharusnya memimpin rakyat dan meningkatkan pendapatan rakyat justru lupa akan tugasnya. Kehidupan konsumtif dalam berbagai bidang telah menyebabkan orang-orang yang menjadi pemimpin menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan mencoba menghamburkan uang ke dalam tindakan konsumtif tinggi. Moralpun tidak dijadikan pertimbangan tingkah lakunya. Dekadensi moral juga melanda dunia pendidikan dimana seorang murid berani “mengobel” ibu gurunya.
Dalam “Sajak Gadis dan Majikan” nampak jelas hancurnya moral sang majikan. Meningkatkan tata ekonomi sang maijikan disusul dengan merosotnya moral sang majikan itu pula.
E. Sajak-Sajak Yang Bersifat Pribadi
Dalam kumpulan sajaknya ini penyair juga menyisipkan sajak-sajak yang bersifat renungan-renungan pribadi atau pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan tidak berhubungan dengan kritik atau pamflet. Namun demikian, renungan pribadi itu secara tidak langsung juga menyatakan penderitaan karena keadaan yang belum sesuai dengan harapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar