Untuk mengajak masyarakat mencintai benda bersejarah, termasuk benda-benda purbakala, Dwi Cahyono menggabungkan dua konsep antara kuliner dan museum. Museum Resto Inggil miliknya yang berada di kota Malang kini dibanjiri pengunjung, bahkan hampir setengahnya datang dari luar negeri. Saat datang ke sini, orang tidak sadar, sambil makan mereka berada di antara benda-benda yang memiliki nilai sejarah.
Tak seperti resto atau tempat makan kebanyakan, Museum Resto Inggil yang didirikan pada 2005 ini sangat berbeda. Setiap pengunjung tak hanya bisa menikmati menu khas Jawa Timuran yang lezat, tetapi sekaligus juga bisa menikmati berbagai benda bersejarah di dalam resto. Karena itulah, rumah makan dengan desain rumah lawas ini diberi sebutan museum resto karena pada dasarnya konsep rumah makan ini adalah layaknya sebuah museum yang menyimpan benda-benda original yang memiliki nilai sejarah.
Sejak awal, Museum Resto Inggil sudah men-setting pengunjung untuk disuguhi suasana tempo dulu. Pada malam hari, suasana temaran semakin menambah kesan tempo dulu. Di sebelah kanan halaman parkir ada bangunan sederhana sejenis joglo dimana dibeber koleksi wayang kulit yang sudah berusia 100 tahun. Begitu masuk pintu utama, terdapat gebyok lengkap dengan kursi kayu tempo dulu. Di lorong setelah masuk di kiri dan kanan terdapat aneka foto sejarah berdirinya kota Malang yang berjejer rapi di tembok. Menurut Dwi, penataan sebuah museum itu sangat penting. Kalau salah penempatan justru akan merusak dan menurunkan nilai benda yang dipajang. Sebab ini berkaitan dengan alur sejarah yang ada. Setelah masuk ke dalam, di sebelah kanan ada ruangan besar. Selain meja dan kursi makan panjang, di dinding juga dipajang berbagai benda yang memiliki nilai sejarah. Misalnya berbagai foto asli para pejuang kemerdekaan ketika datang di kota dingin tersebut. Di ruangan itu juga terdapat silsilah dari Raja Pandan Silas atau raja Majapahit terakhir tahun 1500-an sampai bupati atau pejabat di Jawa Timur pada zaman kolonial dalam bentuk tulisan tangan yang masih rapi dan terbaca dengan jelas dalam ukuran besar. Setelah melewati ruang tengah, kita akan menuju ruang utama yang cukup luas dengan bentuk memanjang dibatasi dengan deretan topeng Malangan yang ditata berjajar melengkung. Di ruang makan utama terdapat meja dan kursi yang tertata rapi sebagai tempat makan. Ruangan itu juga berhadapan dengan panggung seni atau tobong. Pada hari-hari tertentu di situ digelar pagelaran wayang orang serta musik tradisional untuk menghibur pengunjung. Tobong itu asli yang dulunya memang biasa dipakai grup seni tradisional khas Malang.
Dwi menjelaskan kecintaannya pada benda-benda yang memiliki nilai sejarah sudah tumbuh sejak masih anak-anak. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMP, setiap kali ada barang purbakala bergeletakan, pasti tak bakalan ia sia-siakan. Dia langsung ambil dan simpan di rumah. Misalnya saja, ketika ia menemukan patung peninggalan kerajaan di Malang yang berserakan di sebuah lahan kosong dan dijadikan sandaran parkir sepeda. Padahal itu adalah benda yang memiliki nilai sejarah tinggi. Saking gandrungnya mengumpulkan benda purbakala, jadilah rumahnya penuh sesak dengan barang-barang jadul yang sepintas tidak bernilai. Bagi mereka yang tidak tahu, barang-barang tersebut memang tidak bernilai. Tetapi bagi Dwi justru nilainya tak tergantikan. Sebab benda itu menjadi saksi perjalanan sejarah manusia.
Dwi juga mengakui, kecintaannya terhadap benda bernilai sejarah tak lepas dari didikan kedua orangtuanya, Abdul Madjid, seorang tentara, dan Nursriati, sang ibu yang juga seorang seniwati Jawa. Setiap hari, sang ibu selalu memperdengarkan musik gamelan yang mengalun syahdu. Suara gamelan itu benar-benar merasuk ke jiwa Dwi, dan itu yang membuatnya cinta dengan seni budaya. Bahkan saat menginjak remaja tanggung, Dwi sempat diikutkan berlatih tari Jawa. Dari 60 anak yang belajar tari Jawa di sanggar, hanya ia sendiri yang laki-laki. Setamat SMA, Dwi melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi Manajemen di salah satu PTS di Malang. Dan setelah lulus, ia melanjutkan ke jurusan serupa di Sydney, Australia. Di sana, selain melanjutkan kuliah manajemen, ia juga ikut berbagai short course.
Sepulang dari Australia, Dwi terpikir untuk untuk mendirikan sebuah museum. Ia memutar otak, mencari cara bagaimana agar museum yang akan ia dirikan itu nasibnya tidak seperti museum pada umumnya yang sepi pengunjung. Setelah berpikir cukup lama, muncul ide mendirikan museum dengan restoran di dalamnya. Jadi, orang tidak sadar kedatangannya bukan sekedar menikmati makanan, tetapi bisa melihat secara langsung benda-benda bersejarah. Idenya makin pas karena kebetulan seorang keluarganya memiliki lokasi rumah strategis di jantung kota Malang yang boleh dijadikan rumah makan sekaligus museum.
Menurut Dwi, keberadaan sebuah museum itu sangat penting. Seberapa tinggi kebudayaan sebuah negara dapat dinilai dari museum yang ada. Karena budaya itu harus terdokumentasi dan tertata dengan baik. Kalau tidak, budaya tersebut bisa dikatakan sekadar duplikat atau instan saja. Di luar negeri, semua kebudayaan masyarakat terekam di dalam museum. Jadi, di sana kalau ingin mengetahui sejauh mana peradaban sebuah kota, tinggal masuk saja ke museumnya, pasti akan mendapatkan jawabannya. Maka tak heran, bila di luar negeri di satu kota bisa berdiri 50 sampai 60 museum.
Begitu museum resto sudah berdiri, Dwi tidak menyediakan makanan atau minuman Eropa atau menu modern, tetapi menyediakan makanan Jawa Timuran atau makanan khas rumahan, mulai dari tempe penyet, ayam panggang, aneka sambelan, serta sayur dan tumis-tumisan. Kendati makanan dan minuman yang disajikan merupakan menu tradisional, kenyataannya setiap tamu, termasuk bule yang datang sangat suka. Salah satu yang dicari tamu bule saat datang ke restoran ini adalah sambal terong, yang menurut mereka rasanya sangat unik dan enak sekali. Dwi juga mewajibkan pramusaji di restonya untuk mengenakan busana daerah demi menunjang suasana tempo dulu. Perhitungan Dwi tidak meleset. Hari demi hari, pengunjung di Museum Resto Inggil makin meningkat. Yang juga tak kalah menggembirakan, pengunjung yang datang pun bukan hanya orang Indonesia, tetapi 45 persen adalah orang asing, 30 persen wisatawan lokal dari luar Malang, sedang sisanya warga Malang sendiri.
Tujuan awal Dwi mendirikan museum resto kini memang sudah tercapai. Mereka yang datang tak hanya menikmati makanan menu-menu tradisional saja tapi juga menikmati berbagai benda bersejarah yang ada di dalamnya. Bahkan tak jarang, di antara para tamu restoran itu ada yang sekaligus melihat silsilah keluarga mereka atau nama leluhurnya tercantum di daftar silsilah para pejabat masa lalu yang dipajang di museum tersebut. Yang sering menjadi pertanyaan orang adalah dari mana barang-barang bersejarah tersebut didapat, mengingat barang yang sarat dengan nilai sejarah tersebut tidak banyak dimiliki orang. Ternyata, menurut Dwi, benda koleksinya tersebut sebagian besar adalah pemberian orang lain, termasuk warga yang ada di Belanda. Mereka dengan sukarela mengirimkan. Karena sebelum memberi, mereka secara diam-diam melihat sejauh mana kecintaan Dwi pada benda bersejarah.
Setelah berhasil membuat museum resto, berikutnya Dwi membuka Museum Malang Tempo Dulu yang letaknya bersebelahan dengan museum resto. Museum Malang Tempo Dulu berisi sejarah terbentuknya Malang hingga saat ini. Ibaratnya, sejak daratan Malang terbentuk oleh alam berdasar temuan-temuan arkeologi sampai sekarang. Museum Malang Tempo Dulu itu akhirnya mendapat penghargaan sebagai satu di antara museum terbaik di Indonesia dari pemerintah. Saat ini, Museum Malang Tempo Dulu telah dipindah lokasinya ke Desa Slamet, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, bersama dengan Museum Panji yang didirikan bersamaan. Perbedaannya, Museum Malang Tempo Dulu adalah museum yang mengisahkan zaman prasejarah hingga pembangunan terbentuknya kota Malang, sementara Museum Panji berisi tentang kebudayaan asli Jawa Timur yang berkembang luas di berbagai kawasan di Asia Tenggara. Kedua museum itu telah diresmikan pada Januari 2017, menempati lahan seluas tiga hektare dengan sekitar 15 ribu koleksi yang ditampilkan secara bergantian. Menurut Dwi, yang kini juga menjadi konsultan museum di berbagai tempat, kehadiran museum tersebut adalah mimpi lama baginya.