Sabtu, 30 Juli 2022

DWI CAHYONO : Sukses Berbisnis Dengan Menggabungkan Museum dan Restoran.

Untuk mengajak masyarakat mencintai benda bersejarah, termasuk benda-benda purbakala, Dwi Cahyono menggabungkan dua konsep antara kuliner dan museum. Museum Resto Inggil miliknya yang berada di kota Malang kini dibanjiri pengunjung, bahkan hampir setengahnya datang dari luar negeri. Saat datang ke sini, orang tidak sadar, sambil makan mereka berada di antara benda-benda yang memiliki nilai sejarah.

Tak seperti resto atau tempat makan kebanyakan, Museum Resto Inggil yang didirikan pada 2005 ini sangat berbeda. Setiap pengunjung tak hanya bisa menikmati menu khas Jawa Timuran yang lezat, tetapi sekaligus juga bisa menikmati berbagai benda bersejarah di dalam resto. Karena itulah, rumah makan dengan desain rumah lawas ini diberi sebutan museum resto karena pada dasarnya konsep rumah makan ini adalah layaknya sebuah museum yang menyimpan benda-benda original yang memiliki nilai sejarah.

Sejak awal, Museum Resto Inggil sudah men-setting pengunjung untuk disuguhi suasana tempo dulu. Pada malam hari, suasana temaran semakin menambah kesan tempo dulu. Di sebelah kanan halaman parkir ada bangunan sederhana sejenis joglo dimana dibeber koleksi wayang kulit yang sudah berusia 100 tahun. Begitu masuk pintu utama, terdapat gebyok lengkap dengan kursi kayu tempo dulu. Di lorong setelah masuk di kiri dan kanan terdapat aneka foto sejarah berdirinya kota Malang yang berjejer rapi di tembok. Menurut Dwi, penataan sebuah museum itu sangat penting. Kalau salah penempatan justru akan merusak dan menurunkan nilai benda yang dipajang. Sebab ini berkaitan dengan alur sejarah yang ada. Setelah masuk ke dalam, di sebelah kanan ada ruangan besar. Selain meja dan kursi makan panjang, di dinding juga dipajang berbagai benda yang memiliki nilai sejarah. Misalnya berbagai foto asli para pejuang kemerdekaan ketika datang di kota dingin tersebut. Di ruangan itu juga terdapat silsilah dari Raja Pandan Silas atau raja Majapahit terakhir tahun 1500-an sampai bupati atau pejabat di Jawa Timur pada zaman kolonial dalam bentuk tulisan tangan yang masih rapi dan terbaca dengan jelas dalam ukuran besar. Setelah melewati ruang tengah, kita akan menuju ruang utama yang cukup luas dengan bentuk memanjang dibatasi dengan deretan topeng Malangan yang ditata berjajar melengkung. Di ruang makan utama terdapat meja dan kursi yang tertata rapi sebagai tempat makan. Ruangan itu juga berhadapan dengan panggung seni atau tobong. Pada hari-hari tertentu di situ digelar pagelaran wayang orang serta musik tradisional untuk menghibur pengunjung. Tobong itu asli yang dulunya memang biasa dipakai grup seni tradisional khas Malang.

Dwi menjelaskan kecintaannya pada benda-benda yang memiliki nilai sejarah sudah tumbuh sejak masih anak-anak. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMP, setiap kali ada barang purbakala bergeletakan, pasti tak bakalan ia sia-siakan. Dia langsung ambil dan simpan di rumah. Misalnya saja, ketika ia menemukan patung peninggalan kerajaan di Malang yang berserakan di sebuah lahan kosong dan dijadikan sandaran parkir sepeda. Padahal itu adalah benda yang memiliki nilai sejarah tinggi. Saking gandrungnya mengumpulkan benda purbakala, jadilah rumahnya penuh sesak dengan barang-barang jadul yang sepintas tidak bernilai. Bagi mereka yang tidak tahu, barang-barang tersebut memang tidak bernilai. Tetapi bagi Dwi justru nilainya tak tergantikan. Sebab benda itu menjadi saksi perjalanan sejarah manusia.

Dwi juga mengakui, kecintaannya terhadap benda bernilai sejarah tak lepas dari didikan kedua orangtuanya, Abdul Madjid, seorang tentara, dan Nursriati, sang ibu yang juga seorang seniwati Jawa. Setiap hari, sang ibu selalu memperdengarkan musik gamelan yang mengalun syahdu. Suara gamelan itu benar-benar merasuk ke jiwa Dwi, dan itu yang membuatnya cinta dengan seni budaya. Bahkan saat menginjak remaja tanggung, Dwi sempat diikutkan berlatih tari Jawa. Dari 60 anak yang belajar tari Jawa di sanggar, hanya ia sendiri yang laki-laki. Setamat SMA, Dwi melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi Manajemen di salah satu PTS di Malang. Dan setelah lulus, ia melanjutkan ke jurusan serupa di Sydney, Australia. Di sana, selain melanjutkan kuliah manajemen, ia juga ikut berbagai short course

Sepulang dari Australia, Dwi terpikir untuk untuk mendirikan sebuah museum. Ia memutar otak, mencari cara bagaimana agar museum yang akan ia dirikan itu nasibnya tidak seperti museum pada umumnya yang sepi pengunjung. Setelah berpikir cukup lama, muncul ide mendirikan museum dengan restoran di dalamnya. Jadi, orang tidak sadar kedatangannya bukan sekedar menikmati makanan, tetapi bisa melihat secara langsung benda-benda bersejarah. Idenya makin pas karena kebetulan seorang keluarganya memiliki lokasi rumah strategis di jantung kota Malang yang boleh dijadikan rumah makan sekaligus museum.

Menurut Dwi, keberadaan sebuah museum itu sangat penting. Seberapa tinggi kebudayaan sebuah negara dapat dinilai dari museum yang ada. Karena budaya itu harus terdokumentasi dan tertata dengan baik. Kalau tidak, budaya tersebut bisa dikatakan sekadar duplikat atau instan saja. Di luar negeri, semua kebudayaan masyarakat terekam di dalam museum. Jadi, di sana kalau ingin mengetahui sejauh mana peradaban sebuah kota, tinggal masuk saja ke museumnya, pasti akan mendapatkan jawabannya. Maka tak heran, bila di luar negeri di satu kota bisa berdiri 50 sampai 60 museum.

Begitu museum resto sudah berdiri, Dwi tidak menyediakan makanan atau minuman Eropa atau menu modern, tetapi menyediakan makanan Jawa Timuran atau makanan khas rumahan, mulai dari tempe penyet, ayam panggang, aneka sambelan, serta sayur dan tumis-tumisan. Kendati makanan dan minuman yang disajikan merupakan menu tradisional, kenyataannya setiap tamu, termasuk bule yang datang sangat suka. Salah satu yang dicari tamu bule saat datang ke restoran ini adalah sambal terong, yang menurut mereka rasanya sangat unik dan enak sekali. Dwi juga mewajibkan pramusaji di restonya untuk mengenakan busana daerah demi menunjang suasana tempo dulu. Perhitungan Dwi tidak meleset. Hari demi hari, pengunjung di Museum Resto Inggil makin meningkat. Yang juga tak kalah menggembirakan, pengunjung yang datang pun bukan hanya orang Indonesia, tetapi 45 persen adalah orang asing, 30 persen wisatawan lokal dari luar Malang, sedang sisanya warga Malang sendiri.

Tujuan awal Dwi mendirikan museum resto kini memang sudah tercapai. Mereka yang datang tak hanya menikmati makanan menu-menu tradisional saja tapi juga menikmati berbagai benda bersejarah yang ada di dalamnya. Bahkan tak jarang, di antara para tamu restoran itu ada yang sekaligus melihat silsilah keluarga mereka atau nama leluhurnya tercantum di daftar silsilah para pejabat masa lalu yang dipajang di museum tersebut. Yang sering menjadi pertanyaan orang adalah dari mana barang-barang bersejarah tersebut didapat, mengingat barang yang sarat dengan nilai sejarah tersebut tidak banyak dimiliki orang. Ternyata, menurut Dwi, benda koleksinya tersebut sebagian besar adalah pemberian orang lain, termasuk warga yang ada di Belanda. Mereka dengan sukarela mengirimkan. Karena sebelum memberi, mereka secara diam-diam melihat sejauh mana kecintaan Dwi pada benda bersejarah. 

Setelah berhasil membuat museum resto, berikutnya Dwi membuka Museum Malang Tempo Dulu yang letaknya bersebelahan dengan museum resto. Museum Malang Tempo Dulu berisi sejarah terbentuknya Malang hingga saat ini. Ibaratnya, sejak daratan Malang terbentuk oleh alam berdasar temuan-temuan arkeologi sampai sekarang. Museum Malang Tempo Dulu itu akhirnya mendapat penghargaan sebagai satu di antara museum terbaik di Indonesia dari pemerintah. Saat ini, Museum Malang Tempo Dulu telah dipindah lokasinya ke Desa Slamet, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, bersama dengan Museum Panji yang didirikan bersamaan. Perbedaannya, Museum Malang Tempo Dulu adalah museum yang mengisahkan zaman prasejarah hingga pembangunan terbentuknya kota Malang, sementara Museum Panji berisi tentang kebudayaan asli Jawa Timur yang berkembang luas di berbagai kawasan di Asia Tenggara. Kedua museum itu telah diresmikan pada Januari 2017, menempati lahan seluas tiga hektare dengan sekitar 15 ribu koleksi yang ditampilkan secara bergantian. Menurut Dwi, yang kini juga menjadi konsultan museum di berbagai tempat, kehadiran museum tersebut adalah mimpi lama baginya.

SABUN-SABUN UNIK DARI OENTUKMU.ID - INDONESIA ENTREPRENEUR

Sejak munculnya kasus pandemi virus corona Covid 19, beragam produk yang bisa menjaga kebersihan tubuh manusia menjadi laris. Salah satunya adalah sabun. Bukan hanya untuk mandi, tapi sabun juga dibutuhkan untuk mencuci tangan supaya terhindar dari virus. Beragam produk dan jenis sabun pun kini hadir di tengah-tengah masyarakat. Bahkan bentuknya makin unik dan menggemaskan, hingga bisa juga digunakan sebagai hadiah untuk orang teristimewa. Termasuk, untuk isian hampers atau seserahan pernikahan.

Peluang bisnis sabun dengan bentuk yang unik inilah yang kini sedang ditekuni oleh dua bersaudara Juli Yanny dan Apri Diyana. Lewat jenama yang diperkenalkan mereka di sosial media, Oentukmu.id, mereka menerima pesanan beragam bentuk sabun handmade hasil karya sendiri.

Mereka bercerita, mulai membangun usaha sabun handmade sejak 2018 lalu. Ide datang ketika keduanya sempat berlibur ke Korea Selatan. Di sana mereka banyak menemukan produk sabun handmade yang bentuknya unik, lucu, dan belum ada di Indonesia. Tanpa ragu, mereka langsung membawa produk itu ke Indonesia dan mempelajari teknik cara membuatnya. Ternyata tidak begitu sulit. Hanya saja, mereka cukup kesulitan pada ketersediaan bahan bakunya. Sebab, bahan baku sabun yang dibawanya dari Korea Selatan itu ternyata memang belum ada di Indonesia.

Tapi mereka tidak kehilangan akal. Melaui beragam percobaan dan riset yang dilakukan secara online, mereka pun menemukan petunjuk bahwa bahan pembuatan sabun itu bisa juga diganti dengan bahan-bahan alami yang mudah ditemukan di Indonesia. Bahkan, dengan penggunaan bahan alami itu juga, sabun jadi lebih ramah dengan kulit masyarakat Indonesia.

Untuk membuat sabun-sabun itu mereka memakai teknik saponifikasi atau reaksi pembentukan sabun. Mereka mencampurkan berbagai bahan minyak seperti coconut oil, rice bran oil, canola oil, dan soda api, lalu melihat reaksi yang ditimbulkan. Soda api hanyalah satu-satunya bahan kimia yang mereka gunakan, sisanya bahan alami semua.

Modal awal mereka menekuni bisnis ini terbilang minim, hanya sekitar Rp 5 jutaan saja. Sebagian besar untuk dibelikan alat-alat pembuatan sabun, seperti cetakan, mixer, dan microwave. Sementara untuk pemasaran, di awal mereka hanya memanfaatkan media sosial Instagram, yang dirasa cukup mudah dan membantu usahanya berkembang.

Setelah dua tahun berjalan, bisnis mereka pun mulai mendapatkan hati di masyarakat. Dengan harga produk yang dijual berkisar Rp 65.000-Rp 315.000, dalam sebulan mereka bisa meraup untung sampai Rp 95 juta. Semakin besarnya peminat produk sabun mereka itulah, maka setiap harinya mereka harus meluncurkan satu desain sabun terbaru, yang dibuat dalam stok terbatas.

Semua sabun-sabun itu setelah selesai dibuat, langsung mereka upload ke Instagram. Mereka memang tidak pernah restock produk. Kalau pun ada yang ingin memesan dalam jumlah banyak, disarankan untuk pesan costume saja, dan bisa memesan sebulan sebelumnya. Dan lantaran bisnisnya sudah semakin berkembang, kini mereka pun juga sudah membuka toko online di Tokopedia dan Shoppe.

 

Oentukmu.Id

Whats’app for pricelist : 087775547246

DENICA FLESCH, FOUNDER SUKKHA CITTA. BRAND FASHION YANG MENGANGKAT DERAJAT PENGRAJIN.


Denica Flesch mengawali kariernya sebagai konsultan Social Development Program di Bank Dunia pada tahun 2011 lalu. Ketika itu, perempuan yang pernah meraih penghargaan Inspiring Indonesian Women 2019 dari UBS Singapore ini sering bertugas memecahkan masalah kemiskinan di desa-desa. Karena seringnya mengunjungi berbagai daerah miskin, hati Denica merasa tergugah ketika melihat nasib para pengrajin daerah. Banyak pengrajin yang masih terjebak dalam garis kemiskinan, karena mereka mendapatkan upah yang tak sepadan dengan kerja kerasnya. Kenyataan itu membuat Denica sedih dan prihatin.

Terlebih lagi, yang membuatnya makin terkejut, sebagian besar pengrajin bekerja di luar pengaturan jam kerja pabrik yang normal dan tanpa memiliki kebebasan akses ke dunia luar. Mereka juga adalah kebanyakan kaum perempuan yang terjebak dalam kemiskinan dan tidak ada peraturan yang melindungi. Matanya semakin terbuka lebar bila membicarakan tentang industri fashion. Banyak ketidakadilan yang dialami pekerjanya. Karena itulah, Denica bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengubah nasib mereka.



Perempuan lulusan Fakultas Ekonomi dari Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda ini langsung memutuskan untuk mengundurkan diri dari Bank Dunia pada tahun 2015. Setelah itu, dia langsung melakukan riset tentang kain wastra, di desa Jlamprang, Wonosobo, Jawa Tengah. Saat itulah, untuk pertama kalinya dia bisa melihat proses pembuatan pakaian dengan mesin tradisional yang dikerjakan oleh perempuan. Dan itu dijadikan budaya turun temurun dari ibu ke anaknya.

Setahun setelah mengundurkan diri dari Bank Dunia, barulah Denica mulai membangun Sukkha Citta, yang dia perkenalkan sebagai brand fashion produk batik tulis dan kain tenun tradisional. Denica menganggap Sukkha Citta sebagai wirausaha sosial. Usaha ini memang didirikan berdasarkan hati nuraninya yang ingin berpihak pada pengrajin. Dalam mengembangkan Sukkha Citta, perempuan kelahiran Jakarta, 12 April 1990 ini menerapkan tiga standar. Yaitu upah yang adil, melindungi lingkungan, dan berakar pada budaya.



Denica berusaha menghitung dengan cermat, berapa upah yang layak dan adil untuk pengrajinnya. Mulai dari biaya hidup keluarga, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan. Setelah itu, barulah dia bisa menentukan harga dari produk yang dijualnya. Produk Sukkha Citta juga sengaja tak mengikuti musim, karena dihadirkan memang untuk memberi perubahan.

Kini usaha yang dirintis Denica telah berbuah manis. Produknya cukup disukai. Bahkan pembeli produknya yang dihargai hingga jutaan rupiah itu juga datang dari luar negeri. Keuntungan besar pun berhasil diraihnya. Ke depannya, Denica berencana membuka sekolah khusus untuk pengrajin yang pertama di Indonesia. Dia namakan sekolah itu Rumah Sukkha Citta. Karena Denica percaya semua orang berhak mendapat akses pendidikan yang sama.

Denica meyakini bahwa pendidikan adalah kunci kesuksesan. Maka itu dia tidak ragu menginvestasikan 100 persen dari profit usahanya untuk membangun sekolah buat pengrajin. Ini akan menjadi langkah krusialnya menjembatani pendidikan untuk para perempuan muda. -(fff)-  

sukkha citta

LACE DREAM MACRAME : PRODUK KERAJINAN BERBAHAN BENANG YANG DISUKAI BANYAK ORANG

Siapa yang menyangka, kalau salah satu bisnis yang cukup naik daun di tengah wabah Covid 19 adalah bisnis crafting. Berbagai produk kerajinan yang dihasilkan dari bisnis ini cukup laris di pasaran. Dengan memanfaatkan pemasaran secara online, produk seperti hiasan dinding, tas, dan sandal yang didesain menarik berhasil disukai banyak orang.

Salah satu yang merasakan manisnya laba dari berbisnis crafting adalah Fitri Aprilia. Perempuan kelahiran Bekasi, 19 April 1991 ini membuat produk crafting makrame, atau kerajinan berbahan benang dengan beragam teknik penyimpulan. Fitri tidak menyangka, kalau hasil kerajinan makrame masih banyak peminatnya di masa pandemi. Bahkan, karena dia masih mengerjakan sendiri produknya, dia terpaksa membatasi pesanan yang datang.

Kalau melihat produknya yang diberi nama Lace Dream Macrame, wajar saja kalau banyak yang tertarik untuk memesan. Karena Fitri membuat beragam macam produk, mulai dari sandal, tas, pajangan dinding, gantungan pot, juga anting yang penuh warna-warni. Selain itu, dia juga menerima pesanan makrame sesuai kemauan pelanggan atau custom.

Perjalanan Fitri dalam menekuni bisnis kerajinan makrame tidak terjadi begitu saja. Sebelumnya dia pernah berjualan baju muslim secara online dengan memanfaatkan media sosial Instagram. Tapi sayangnya, usaha itu tidak berjalan lancar, bahkan semakin menurun. Hingga akhirnya dia terpaksa menutup bisnis itu. Setelah berhenti berjualan baju muslim, Fitri sempat rehat sejenak sambil mencari ide bisnis lain yang bisa ditekuni.

Suatu hari, saat sedang browsing di Pinterest, Fitri menemukan karya-karya makrame yang sangat menarik. Dia pun terinspirasi untuk menjadikannya bisnis baru, dan langsung mempelajari tutorial membuat makrame melalui Youtube. Ternyata tidak begitu sulit baginya. Setelah jadi, Fitri coba men-share hasil karyanya di akun Instagram yang sebelumnya dia pakai untuk berjualan baju muslim. Kebetulan, akun itu sudah mempunyai 4000-an followers. Jadi sayang kalau tidak dimanfaatkan lagi. Tak disangka, dari situ ada yang memesan. Merasa sudah tercebur dan yakin bahwa bisnis ini sangat menjanjikan, Fitri pun mulai serius menekuni makrame.

Modalnya untuk memulai bisnis ini juga tidak besar. Fitri hanya merogoh kocek sekitar Rp 1 juta saja, yang dipakai untuk membeli bahan dan peralatan. Setelah itu dia makin serius mengeksplor kemampuannya membuat kerajinan makrame, hingga bisa menghasilkan beragam karya yang disukai banyak orang. Tapi, walaupun bisnisnya cukup lancar, Fitri mengaku di awalnya dia cukup kesulitan untuk menemukan bahan benang yang bagus atau kualitas premium. Namun itu tidak membuatnya behenti berkarya.

Baru kemudian sebulan setelah memulai bisnis, dia bisa menemukan bahan benang yang diinginkan. Yakni yang warna catnya merata sampai ke dalam, juga teksturnya halus dan lembut. Karena menggunakan bahan yang berkualitas itulah, maka Fitri menjual produknya dengan harga mahal. Harga yang ditawarkan Fitri untuk makrame buatannya berkisar Rp 135 ribu – Rp 2 juta, menyesuaikan ukuran bendanya.

Dari usahanya ini, dalam sebulan Fitri bisa meraih omzet Rp 10 jutaan. Karena masih mengerjakan sendiri, Fitri terpaksa membatasi pesanan yang datang. Setiap bulan, dia hanya menerima paling banyak tujuh pesanan atau menyesuaikan dengan kesanggupannya. Untuk pemasaran, sementara ini Fitri masih mengandalkan media sosial Instagram saja. Hanya sesekali dia memakai jasa influencer home decor untuk mendongkrak penjualan. Fitri tidak memungkiri, lewat peran seorang influencer, banyak pesanan yang diterimanya.

LACEDREAM MACRAME

Instagram : lacedream_macrame

Whatsapp : 081818100150.

SMITTEN BY PATTERN, PRODUK FASHION BERMOTIF UNIK DAN KAYA WARNA

Katanya, bagi sebagian besar perempuan, menggunakan produk fashion bermotif unik dan kaya warna itu bisa membuat mood jadi senang, bahkan bisa menambah rasa percaya diri. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh Laras Anggraini dan Diniella Putirani, yang kemudian menjadi alasan mereka untuk membuat brand Smitten by Pattern. Mereka memang menginginkan membuat produk yang tampil beda dengan ciri khas motif kartun unik yang jarang ditemukan di Indonesia. 

Motif yang dihadirkan Smitten by Pattern memang terlihat beragam dan kaya akan warna. Untuk desainnya sendiri mereka banyak terinspirasi dari buku anak-anak. Ada sekitar 30-50 palet warna yang dipadukan dalam proses produksinya. Kemudian paduan warna tersebut diaplikasikan ke berbagai produk yang menggemaskan, seperti tote bag, dress, scarf, kaos, topi, sampai sepatu. Dan produk-produk itu pun mendapat respon yang baik dan boleh dibilang cukup sukses saat dijual di pasaran.

Sebelum menghasilkan beragam produk, awalnya Smitten by Pattern hanya menjual scarf. Itu pun hanya sebagai pelampiasan hobi Laras dan Diniella yang memang suka menggambar sejak duduk di bangku SMP. Saat keduanya sudah bekerja, mereka tertarik ingin memiliki bisnis sampingan. Dari situlah muncul ide untuk membuat scarf dengan desain gambar karya sendiri, karena dirasa paling mudah dan tidak memerlukan modal yang banyak.

Hanya dengan bermodalkan Rp 10 juta, Laras dan Diniella bisa membuat sekitar 3000 scarf, yang kemudian langsung mereka promosikan di Instagram. Namun, sebelum diluncurkan ke khalayak umum, mereka terlebih dulu melakukan riset marketing selama tiga bulan. Tidak disangka, hasil dari promosi di Instagram mendapatkan antusias yang besar.

Tak hanya melalui Instagram, mereka juga mulai aktif mengikuti bazar untuk memperkenalkan produk Smitten by Pattern. Dan dengan rajinnya mengikuti bazar tersebut, produk mereka memang semakin laku dan dikenal di pasaran. Bahkan kini, Smitten by Pattern sudah memiliki penggemar sendiri, yang rata-rata merupakan ibu muda milenial berusia 25-35 tahun.

Bersamaan dengan marketing yang terus digenjot, Laras dan Diniella juga berusaha mengembangkan kualitas pada produk dan desainnya. Salah satunya, mereka menginginkan semua produk Smitten by Pattern berbahan ramah lingkungan. Material yang digunakan adalah kain yang berbahan organik seperti katun, agar pemakainya merasa nyaman dan produknya juga lebih awet. Mereka memang tidak menggunakan bahan polyester.

Walau sangat menjaga kualitas, harga yang mereka tawarkan juga ramah di kantong. Berkisar Rp 145.000-Rp 600.000. Maka tak heran, bila Laras dan Diniella bisa mengantongi omzet sekitar Rp 65juta – Rp 100 juta per bulan. Kini, selain di Instagram, Smitten by Pattern juga sudah membuka toko online di marketplace Tokopedia. Banyak pula perusahaan besar yang memakai produk mereka untuk goddie bag, dan beberapa influencer sosial media mecarinya untuk dipakai pemotretan.

SMITTEN BY PATTERN

Whats app : 08158104115

NASI PETAK DARI DAPUR CIKUR, ROMANSA MASAKAN NUSANTARA DENGAN MENU SEPETAK.

Tertarik ingin menikmati masakan khas Indonesia yang lain dari biasanya ? Mungkin tak ada salahnya bila anda mencoba menu Nasi Petak dari Dapur Cikur. Sesuai namanya, Nasi Petak adalah istilah untuk menggambarkan varian menu nasi liwet dengan beragam topping ala masakan tradisional khas Jawa Barat dengan porsi yang tak banyak alias cuma ‘sepetak’. Tapi biar pun begitu, menu ini masih cukup mengenyangkan.

Pemiliknya adalah Vanty Veronica, yang pernah mengikuti kompetisi Master Chef Indonesia season 6 di RCTI. Vanty mengaku sangat senang dirinya bisa memperkenalkan Nasi Petak di kedai miliknya. Apalagi, menu itu sesuai dengan keinginannya waktu mendirikan Dapur  Cikur, yakni ingin menyajikan romansa masakan Nusantara. Dengan tagline Petak Numansa Rasa, Nasi Petak terdiri dari sepetak lidah hejo, sepetak ayam hejo, sepetak ayam seuhah, sepetak cumi jeruk, sepetak sambal goreng ati ampela, dan sepetak duri pesmol.

Ketika melihat Nasi Petak disajikan, kita seolah ingin segera menyantapnya hingga tandas karena tampilannya sungguh menggoda. Satu piring Nasi Petak terdiri dari beragam topping yang tergantung pilihan kita. Misalnya, untuk menu Sepetak Cumi Jeruk, isinya terdiri dari nasi liwet, cumi, irisan telur dadar, sambal terasi, timun, kemangi, dan bawang goreng. Begitu disantap, nasi liwetnya terasa gurih karena berasal dari paduan beras dan santan dengan ukuran yang pas. Dilengkapi pula dengan bumbu yang khas.

Menariknya lagi, sajian Nasi Petak di Dapur Cikur tak hanya menawarkan kenikmatan saja, tapi juga kesehatan dari bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Seluruh menu yang dibuat, Vanty menjamin tidak ada penggunaan MSG. Jadi semuanya menggunakan bahan-bahan masakan yang bagus. Selain itu, kemasan yang digunakan pun juga berprinsip ramah lingkungan. Seluruk menu yang terdapat di Dapur Cikur packaging-nya terbuat dari olahan pelepah pohon pinang sehingga tampak premium. Sementara harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau yakni berkisar Rp 35.000-Rp 50.000 per porsinya.

KIAT BERTAHAN PELAKU USAHA FASHION DI TENGAH PANDEMI COVID 19.

Pandemi Covid 19 yang turut ‘menyapa’ Indonesia, berdampak pada banyaknya sektor usaha yang bangkrut atau tutup. Kalau pun ada yang mampu bertahan, para pelakunya harus memutar otak supaya usahanya tidak ikut-ikutan luluh lantak. Sektor fashion menjadi salah satu yang terdampak. Para pemilik usahanya yang masuk kategori UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) terpaksa harus menutup tokonya untuk sementara waktu, juga menghentikan proses produksi.

Salah satu jenama fashion yang terkena dampak pandemi adalah Gadiza. Satu bulan pertama sejak pandemi merebak, omzet Gadiza turun drastis. Meski begitu, pemiliknya Rosie Rahmadi memastikan tidak akan merumahkan karyawannya. Yang dilakukan Rosie di masa awal pandemi adalah membangun mental diri untuk menghadapi berbagai kondisi. Dia berusaha membangkitkan semangat dan mental tim, termasuk masalah kesehatan diri. Setelah itu, dia memulai koordinasi dengan timnya untuk menyusun strategi, agar mereka tetap bisa bertahan.

Strategi pertama yang dilakukan adalah mulai melakukan aktivasi digital. Sebelumnya, Gadiza lebih banyak bergerak di penjualan langsung atau luring.  Saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), otomatis butik Maison Gadiza yang ada di Jalan Margonda, Depok tidak bisa dibuka. Aktivasi digital yang dilakukan di antaranya adalah memaksimalkan media sosial dan laman web sebagai sarana penjualan dan branding. Mereka juga menerapkan strategi diskon untuk semakin menarik orang berbelanja di toko daring mereka. Hal itu juga sekaligus menghindari penumpukan stok yang berlebih.

Konten-konten yang dibuat dalam laman web mereka adalah live shopping, review produk, photoshoot mix and match, behind the scene, hingga story telling yang menarik tentang produk Gadiza. Selain tim marketing yang fokus pada penjualan produk sales yang masih ada, Gadiza juga membentuk tim riset dan produksi yang melakukan riset lebih dalam tentang produk-produk apa saja yang memang masih dibutuhkan saat pandemi. Yang tak ketinggalan, Gadiza juga mendesain dan mengembangkan lagi produk-produk lama yang kira-kira masih cocok digunakan.

Gadiza pun akhirnya meperkenalkan kembali produk Sazia Outer sebagai kostum luaran pelindung diri. Dengan desain yang sederhana, penggunaan bahan yang ringan dan tahan air menjadikan outer ini bisa digunakan sebagai pengganti APD. Uniknya lagi, desain Sazia Outer tidak hanya bisa digunakan oleh perempuan saja, tapi juga bisa untuk laki-laki alias unisex. Dan, hanya dalam waktu singkat, Sazia Outer yang awalnya masih melimpah di gudang, langsung habis diburu pembeli dan mereka pun harus memproduksi lagi.

Sazio Outer

Permintaan Sazia Outer sebagian besar datang dari orang yang masih harus beraktivitas di luar rumah, seperti dokter, pekerja kantoran, mau pun ibu rumah tangga. Kebanyakan penggunanya memiliki lebih dari satu Sazia Outer karena harus dicuci setelah dipakai, dan keesokan harinya harus dipakai lagi untuk kembali beraktivitas di luar.

Langkah yang sama juga dilakukan jenama Ija Kroeng di Aceh. Di masa awal pandemi, Maret 2020, pemiliknya Khairul Fajri Yahya telah menghentikan aktivitas produksi selama seminggu. Saat itu, penjualan mengalami penurunan hampir 99 %. Lalu, Khairul menemukan fakta, bahwa setelah ada anjuran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) supaya masyarakat memakai masker kain sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran virus corona, permintaan masker kain meningkat tajam. Akibat dari itu, terjadi kelangkaan masker dan harganya juga tidak normal lagi di pasar.

Kebutuhan yang besar ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh  sebagian masyarakat umum untuk memproduksi masker kain sendiri dengan standar yang sudah ditentukan, baik untuk dijual maupun untuk dipakai sendiri. Lalu, untuk sektor bisnis fashion, khususnya yang memproduksi sendiri produknya atau minimal memiliki mesin jahit, termasuk salah satu yang masih mampu bertahan. Karena mereka bisa memproduksi produk-produk yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tim medis, seperti masker dan alat pelindung diri (APD).

rumah produksi Iji Krueng

Kebetulan di Aceh, tidak semua rumah produksi bisnis fashion memiliki mesin jahit sekaligus alat cetak kain. Dan, Ija Kroeng yang memiliki mesin jahit dan peralatan cetak manual di tempat produksinya langsung mengambil kesempatan itu untuk memproduksi masker berlogo Ija Kroeng. Ternyata, produk masker Ija Kroeng diterima masyarakat. Permintaannya pada saat itu sangat tinggi, sehingga mereka pun membatasi untuk satu pembeli hanya bisa membeli 10 masker saja.

Selain menjual langsung masker berlogo Ija Kroeng di media sosial dan langsung di tempat usahanya, strategi pemasaran lainnya adalah dengan memproduksi sampel masker berlogo instansi atau perusahaan, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Museum Aceh, Aceh Bussines Club, dan lainnya yang dianggap memiliki kemungkinan besar bisa memesan masker dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada masyarakat. Kemudian, foto sampel masker itu langsung dipromosikan ke relasi yang ada di instansi dan perusahaan tersebut.  

Tidak menunggu waktu lama, orderan masker kain berlogo custom pun datang silih berganti sehingga Ija Kroeng harus menambah karyawan untuk mempercepat kapasitas produksinya. Secara tidak langsung, momen itu sangat membantu dalam mempromosikan jenama Ija Kroeng pada konsumen baru yang selama ini tidak bisa dijangkau. Yang pada akhirnya bisa menjaga eksistensi Ija Kroeng, dan menguatkan posisinya di mata konsumen.

Setelah dimulainya adaptasi kebiasaan baru, acara-acara pernikahan yang diselenggarakan di masjid pun sudah mulai diizinkan lagi. Ija Kroeng melihat ada peluang di sini, dan segera berinovasi lagi memproduksi masker kain bertuliskan nama pasangan pengantin sebagai cendera mata, yang bisa dibagikan kepada seluruh tamu undatang yang datang ke acara pernikahan tersebut.

Aksi serupa pun turut dilakukan desainer Hannie Hananto. Ketika pemerintah mengumumkan adanya kasus Covid 19 di Indonesia, dia langsung bergerak dengan menyiapkan infrastruktur penjahit. Karena dia menduga, kasus ini akan lama dan akan mengubah semua sistem. Hannie lantas mengubah sistem produksinya, dengan mengirimkan bahan baku dan gambar ke penjahitnya yang ada di Sumedang. Setelah selesai dikerjakan, mereka bisa mengirim balik ke Jakarta.

Tapi selain itu, Hannie juga memiliki banyak stok baju dan hijab untuk berbagai acara yang waktu penyelenggaraannya ditunda. Lalu, bagaimana cara menjual stok yang banyak itu tanpa harus diskon besar-besaran, karena itu adalah stok yang termasuk baru ? Solusinya adalah dengan berjualan langsung di Instagram. Tak hanya di Instagram saja, Hannie juga melakukan promosi di Tiktok. Dia ikut membuat video seperti yang biasa dilakukan kaum milenial, untuk mereview produknya. Ternyata, cara itu pun mendapat respons positif karena langsung mendekatkan desainer dengan pembelinya.

Saat masker masih langka, muncul pula ide Hannie untuk membuat masker yang sesuai dengan gaya desainnya dan dapat dicocokkan dengan motif hijab atau baju rancangannya. Menurutnya, membentuk image baru dari desain kita itu sangat penting untuk langkah ke depan. Karena itulah kita perlu peka atau responsif membaca apa yang sedang tren. Hannie memahami bahwa tren itu akan terus berjalan dan berubah setiap saat. Tidak ada yang tetap di dunia, karena yang tetap adalah perubahan itu sendiri.

Desainer asal Yogyakarta, Phillip Iswardono pun juga tak menampik bahwa pandemi merupakan pukulan berat untuk semua aspek bisnis, termasuk di sektor industri kreatif, khususnya fashion. Menariknya, secara pribadi mau pun dari sisi bisnis, Phillip mengatakan, bahwa usaha fashion retail siap pakai seperti yang dia jalani saat ini tidak terlalu mengalami penurunan omzet akibat efek pandemi.

Malah katanya, pandemi justru memberikan efek positif dalam peningkatan bisnisnya. Yaitu melalui penjualan secara daring di Instagram maupun Facebook. Hal dan langkah yang dilakukan Phillip pada saat wabah mulai meluas, yang pertama adalah dengan tetap menyelesaikan order dari pelanggan yang sudah datang di minggu pertama dan kedua. Kemudian, dia juga mulai memproduksi masker dengan menggunakan bahan perca dari sisa produksi.

Selain disumbangkan secara gratis, Phillip juga menjual masker-masker itu. Dia kembali menghubungi dan berkomunikasi dengan kliennya yang datanya sudah tersimpan di database. Selanjutnya, dia juga membuat koleksi siap pakai dengan desain yang lebih simpel, tapi penekanan pada desain yang unik, harga lebih murah, dan dengan promosi gratis ongkos kirim serta bonus masker. Dan ternyata efeknya sangat luar biasa bagus dan positif.