Sabtu, 30 Juli 2022

DENICA FLESCH, FOUNDER SUKKHA CITTA. BRAND FASHION YANG MENGANGKAT DERAJAT PENGRAJIN.


Denica Flesch mengawali kariernya sebagai konsultan Social Development Program di Bank Dunia pada tahun 2011 lalu. Ketika itu, perempuan yang pernah meraih penghargaan Inspiring Indonesian Women 2019 dari UBS Singapore ini sering bertugas memecahkan masalah kemiskinan di desa-desa. Karena seringnya mengunjungi berbagai daerah miskin, hati Denica merasa tergugah ketika melihat nasib para pengrajin daerah. Banyak pengrajin yang masih terjebak dalam garis kemiskinan, karena mereka mendapatkan upah yang tak sepadan dengan kerja kerasnya. Kenyataan itu membuat Denica sedih dan prihatin.

Terlebih lagi, yang membuatnya makin terkejut, sebagian besar pengrajin bekerja di luar pengaturan jam kerja pabrik yang normal dan tanpa memiliki kebebasan akses ke dunia luar. Mereka juga adalah kebanyakan kaum perempuan yang terjebak dalam kemiskinan dan tidak ada peraturan yang melindungi. Matanya semakin terbuka lebar bila membicarakan tentang industri fashion. Banyak ketidakadilan yang dialami pekerjanya. Karena itulah, Denica bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengubah nasib mereka.



Perempuan lulusan Fakultas Ekonomi dari Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda ini langsung memutuskan untuk mengundurkan diri dari Bank Dunia pada tahun 2015. Setelah itu, dia langsung melakukan riset tentang kain wastra, di desa Jlamprang, Wonosobo, Jawa Tengah. Saat itulah, untuk pertama kalinya dia bisa melihat proses pembuatan pakaian dengan mesin tradisional yang dikerjakan oleh perempuan. Dan itu dijadikan budaya turun temurun dari ibu ke anaknya.

Setahun setelah mengundurkan diri dari Bank Dunia, barulah Denica mulai membangun Sukkha Citta, yang dia perkenalkan sebagai brand fashion produk batik tulis dan kain tenun tradisional. Denica menganggap Sukkha Citta sebagai wirausaha sosial. Usaha ini memang didirikan berdasarkan hati nuraninya yang ingin berpihak pada pengrajin. Dalam mengembangkan Sukkha Citta, perempuan kelahiran Jakarta, 12 April 1990 ini menerapkan tiga standar. Yaitu upah yang adil, melindungi lingkungan, dan berakar pada budaya.



Denica berusaha menghitung dengan cermat, berapa upah yang layak dan adil untuk pengrajinnya. Mulai dari biaya hidup keluarga, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan. Setelah itu, barulah dia bisa menentukan harga dari produk yang dijualnya. Produk Sukkha Citta juga sengaja tak mengikuti musim, karena dihadirkan memang untuk memberi perubahan.

Kini usaha yang dirintis Denica telah berbuah manis. Produknya cukup disukai. Bahkan pembeli produknya yang dihargai hingga jutaan rupiah itu juga datang dari luar negeri. Keuntungan besar pun berhasil diraihnya. Ke depannya, Denica berencana membuka sekolah khusus untuk pengrajin yang pertama di Indonesia. Dia namakan sekolah itu Rumah Sukkha Citta. Karena Denica percaya semua orang berhak mendapat akses pendidikan yang sama.

Denica meyakini bahwa pendidikan adalah kunci kesuksesan. Maka itu dia tidak ragu menginvestasikan 100 persen dari profit usahanya untuk membangun sekolah buat pengrajin. Ini akan menjadi langkah krusialnya menjembatani pendidikan untuk para perempuan muda. -(fff)-  

sukkha citta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar