Sabtu, 30 Juli 2022

GORRY GOURMET : Bisnis Katering Daring Menu Sehat Untuk Masyarakat Ibukota.

Bagi kalangan masyarakat urban, gaya hidup sehat telah lama menjadi gaya hidup tersendiri. Tapi, banyak orang yang kerap mengeluhkan sulitnya menjalani gaya hidup sehat. Penyebabnya bisa berbagai macam. Di antaranya, terbatasnya waktu untuk mempersiapkan panganan sehat dan ketepatan dalam mengatur porsi makanan. Melalui Gorry Gourmet, kini permasalahan itu lebih mudah terselesaikan. Gorry Gourmet merupakan bisnis katering daring yang menawarkan layanan ready to cook dan menu sehat untuk masyarakat Ibu Kota.

Pendiri Gorry Gourmet, William Susilo, melihat gaya hidup sehat yang kini banyak dianut masyarakat sebagai peluang bisnis sejak September 2014. Berdasarkan pengamatannya, kebutuhan setiap orang berbeda-beda dalam menjalankan program kesehatannya. Melalui Gorry Gourmet, William pun mencoba membentuk aplikasi berdasarkan kebutuhan kesehatan tiap-tiap orang. Selama menjalani bisnisnya, William terus berinovasi dalam membuat sajian sehat sekaligus memiliki rasa yang enak. Sajian yang ditawarkan pun kaya serat, berkalori seimbang, dan termasuk karbohidrat yang baik, sehingga dapat dinikmati tanpa rasa bersalah.

Saat ini di Gorry Gourmet ada 3000 resep makanan yang siap dipilih untuk memanjakan selera para konsumennya. Gorry Gourmet juga telah menyiapkan chef dari salah satu hotel berbintang di Jakarta, dan ada pula kolaborasi dengan dokter gizi. Menu makanan yang ditawarkan, antara lain, salmon steak, baked taro schotel, thai fish cake, dan baked nori rice. Selain itu, Gorry Gourmet juga telah melebarkan menu, seperti camilan martabak yang kalorinya setengah dari martabak biasa.

Sejak awal didirikan, Gorry Gourmet melakukan sistem pemasaran dengan cara pendekatan melalui komunitas food blogger dan kampanye pemasaran digital. Gorry Gourmet juga banyak mendapatkan pesanan melalui Instagram atau Whatsapp. Kini, Gorry Gourmet telah berhasil mendapat ribuan pelanggan. Rata-rata penikmat Gorry Gourmet diminati kalangan wanita berusia 23 hingga 45 tahun dan berdomisili di Jabodetabek.

Seperti kebanyakan start-up katering lainnya, Gorry Gourmet masih menggunakan laman untuk menerima order, baik ala-carte products maupun diet catering subscription. Khusus untuk pelanggan katering diet, start-up ini menyediakan layanan konsultasi gizi gratis dan tips olahraga yang menunjang program diet. Layanan ini akan diberikan kepada pelanggan secara virtual dengan menggunakan login code. Gorry Gourmet juga telah meluncurkan platform baru yang memungkinkan pelanggan potensial memilih program diet yang terkustomisasi. Dengan begitu, Gorry Gourmet dapat merekomendasikan daftar makanan untuk pagi, siang, dan malam selama program diet yang diinginkan berlangsung. 

Masalah yang kerap dihadapi oleh para pelanggan katering diet adalah waktu pengiriman harian yang kadang sulit diprediksi. Untuk mengatasinya, William menyiasatinya dengan mempersiapkan vacuum-sealed packaging, sehingga Gorry Gourmet bisa mengirimkan paket makanan pekanan sekaligus kepada pelanggan dalam satu kotak. Nantinya, makanan tersebut dapat disimpan di kulkas dan dapat dipanaskan menggunakan microwave atau oven konvensional.

MUHAMMAD SYAKIR : Meraih Untung Dari Usaha Bubuk Minuman, Jakrta Power Drink.

Berbisnis dalam bidang kuliner, baik makanan maupun minuman, memang selalu menjanjikan. Tak heran bila banyak orang berlomba-lomba menggeluti sektor bisnis satu ini. Mulai dari membuka kafe hingga memproduksi makanan atau minuman dengan jenama (brand) sendiri. Muhammad Syakir pun mengambil peluang dengan mendirikan usaha dalam bidang minuman bermerek “Jakarta Power Drink” (JPD). Kini, ia telah mempunyai banyak distributor di 10 kota, seperti Medan, Padang, Makassar, Yogyakarta, dan Semarang.

Ide membangun usaha bubuk minuman ini tak pernah Syakir pikirkan sebelumnya. Sebelumnya, ia sempat membuka usaha warung kelontong, bengkel, warteg, hingga perkebunan, tetapi semuanya tak membuahkan hasil berarti. Sampai suatu hari, istrinya mengajak berjualan minuman bubble Pop Ice di depan sebuah minimarket. Ternyata, hasilnya lebih lumayan daripada usaha warteg. Akhirnya, usaha wartegnya pun ia tutup. Lalu, karena sedikit paham dengan ilmu komunikas, Syakir coba-coba membuat blog untuk menawarkan franchise. Dan ternyata banyak yang merespon. Pada awal merintis usaha minuman tersebut, dalam sehari Syakir dan sang istri bisa membuat 100 gelas minuman bubble.

Lama kelamaan, pria asal Makassar ini tak puas dan ingin mengembangkan usahanya. Ia mulai berpikir bagaimana caranya membuat bubuk sebelum diseduh menjadi minuman. Syakir pun segera mencari orang yang bisa membuat bubuk. Ia dan istri berpikir, tidak mungkin dari 200 juta orang di Indonesia, tidak ada yang bisa membuatnya. Ia bahkan sampai bertanya ke Australia, karena di sana terdapat sekolah minuman. Hingga pada suatu hari, Syakir tak sengaja membaca iklan orang yang bisa membuat bubuk minuman. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung menghubungi orang tersebut.

Syakir lalu memberanikan diri untuk menginvestasikan Rp 100 juta sekaligus menggunakan jasa maklon dari perusahaan bubuk itu. Ia juga mulai resmi mendirikan CV JPD pada 2012 untuk memasarkan bubuk minuman mereknya. Yang jelas, saat itu Syakir ingin terima beres, bubuk minuman yang sudah jadi memakai mereknya sendiri, walau bukan ia sendiri yang membuatnya. Sayangnya, kerja sama tersebut tak berjalan lama karena ada beberapa masalah. Syakir kemudian memutar otak mencari solusi, sampai akhirnya ia mulai belajar membuat sendiri bubuk minuman selama dua hingga tiga bulan.

Bermodalkan pinjaman bank sebesar Rp 350 juta, Syakir lalu membeli mesin pembuat bubuk serta memberanikan diri menjalankan usaha bubuk minuman secara lebih serius. Hasilnya cukup memuaskan dan sekarang usahanya semakin berkembang. Sekarang, ia sudah memiliki 3 mesin produksi, 2 mesin pengemasan (packaging), dan 4 karyawan. Perusahaannya kini mampu memproduksi 350 sampai 400 kilogram (kg) bubuk minuman per hari. Sebulan ia bahkan bisa menjual hampir delapan ton bubuk itu dengan omzet Rp 350 juta sampai Rp 400 juta per bulan.

Bubuk minuman JPD ini sekarang juga telah tersebar di seluruh Indonesia. Syakir menyebutkan, ada beberapa distributor di 10 kota, seperti Medan, Palembang, Padang, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Solo, Tegal, Karang Anyar, Bandung, dan Bogor. Mereka siap menyalurkan bubuk minuman beraneka rasa tersebut ke pedagang, pemilik kafe, ataupun hotel di beragam daerah. Awalnya, siapa pun yang ingin menjadi distributor, minimal harus melakukan pembelian awal 500 kg. Namun karena membawanya cukup berat, Syakir menurunkannya menjadi minimal 200 kg. Syakir tentu memberikan harga yang sesuai. 

Kini, ia membagi produknya menjadi dua, yakni bubuk biasa dan premium. Untuk bubuk biasa, terdapat 45 rasa meliputi lemon tea, thai tea, cokelat, dan lainnya dengan harga jual berkisar Rp 65 ribu sampai Rp 75 ribu. Sedangkan untuk premium terdapat 10 rasa, di antaranya cookies and cream, matcha, dan taro. Untuk produk premium harganya dimulai dari Rp 135 ribu sampai Rp 180 ribu. Menurut Syakir, pembagian tersebut merupakan strategi untuk menyentuh semua pasar, dari menengah ke bawah sampai menengah atas. Ia menyebutkan, biasanya produk premium didistribusikan ke hotel, restoran, serta kafe. Sedangkan produk biasa dijual ke para pedagang kecil.

Demi melebarkan bisnis, Syakir pun juga menyediakan jasa maklon. Jadi untuk perusahaan yang hanya punya modal saja, Syakir bisa membuatkan bubuk sendiri sesuai permintaan mereka, yang nantinya mereka jual juga dengan merek mereka sendiri. Bagi Syakir hal itu sama sekali tidak menjadi masalah. Saat ini, sudah ada tiga sampai empat perusahaan yang maklon dengan JPD. Saat ini, JPD juga mulai mencoba masuk ke bioskop dan kafe ritel, seperti J.CO dan Dunkin Donuts. Syakir juga terus mengajak banyak pihak bekerja sama, contohnya ke produsen jelly pudding dan bakery. Ia meyakini, bubuknya dapat pula dibuat kue atau sebagai perasa makanan.

Syakir melihat, sekarang banyak anak-anak muda kreatif yang juga bisa membuat minuman dalam kemasan botol. Syakir pun turut menyentuh pasar itu. Mereka bisa menggunakan bubuk produksi JPD. Bagi bapak tiga anak ini, berbisnis memang dibutuhkan kreativitas, karena menjadi pengusaha kreatif tak hanya berdagang, tapi juga harus memberikan nilai. Lebih lanjut ia mengatakan, bisnis juga harus mempunyai tiga pendapatan, sehingga meski bahan baku sedang mahal, tapi tetap bisa meraih keuntungan.

Syakir mengakui, bahan baku untuk membuat bubuk minuman memang tidak murah, terlebih lagi harus diimpor sebab beberapa bahan memang tak ada di Indonesia. Oleh karena itu, ia mengaku sangat kewalahan bila nilai tukar dolar AS sedang meninggi. Meski begitu, ia berupaya tetap menjaga kualitas agar tak mengecewakan pelanggan. Syakir tak mau hanya mengejar harga murah, karena JPD mempunyai kelas tersendiri. Menurutnya, bisnis kuliner sangat mengutamakan rasa, sehingga bila rasanya berubah sedikit saja, orang bisa tak akan mau mengkonsumsi lagi.

Di era teknologi seperti sekarang, promosi juga harus gencar dilakukan. Karenanya, tak hanya menawarkan langsung, Syakir pun memperkenalkan produknya lewat media sosial, seperti Instagram, Twitter, atau web. Menurutnya, cara tersebut efektif karena kini semakin banyak orang tahu JPD. Bahkan, di Bandung, orang bisa tidak mau membeli suatu produk minuman kalau di gerobaknya tidak ada logo JPD, saking mereka sudah begitu fanatiknya. Syakir pun menambahkan, di Bandung saat ini JPD sudah memiliki sekitar 18 distributor. Masing-masing distributor membawahi banyak orang. Syakir bersyukur usahanya ini dapat memberdayakan banyak orang, sebab baginya menjadi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) harus mampu pula memberikan manfaat untuk orang lain. 

Syakir menjelaskan, usaha ini jika digeluti serius, dapat memberikan pendapatan cukup lumayan. Seorang distributor misalnya, bila bisa menjual 500 kg bubuk per bulan, keuntungannya dapat mencapai Rp 25 juta. Ke depan, Syakir akan terus mencari berbagai inovasi demi mengembangkan bisnisnya. Karena itu, untuk menunjang bisnisnya, ia pun berencana untuk memiliki bangunan atau pabrik sendiri. Saat ini Syakir sedang mempersiapkan proposal guna mencari investor. Ia yakin, bisnis ini adalah bisnis yang semua orang mau berinvestasi. 

Pria lulusan jurusan jurnalistik dari Universitas Ibnu Khaldun ini juga bermimpi mempunyai perusahaan besar yang memiliki beberapa divisi, di antaranya divisi kafe. Ia bahkan sudah menyiapkan konsep kafenya. Mulai dari dekorasi sampai menu makanannya nanti. Syakir percaya impiannya bisa terwujud, sebab hampir semua perusahaan besar dimulai dari industri kecil rumahan. Baginya, tak ada yang tak mungkin bila mau berusaha.

YAGAMI RAMEN HOUSE : Tawarkan Ramen Dengan Rasa Otentik, Murah, dan Halal.

Bagi pecinta mi, tentu tidak asing dengan ramen asal Jepang. Kenikmatan ramen ternyata juga disukai oleh lidah orang Indonesia. Tidak heran bila banyak pebisnis yang mulai tertarik mengembangkan peluang bisnis tersebut. Peluang itulah yang ditangkap sepasang suami istri Satriya Kurniawan dan Nova Sri Yumel, dengan membangun restoran Yagami Ramen House, yang menawarkan ramen dengan beragam topping lezat dan sajian rasa. Awal mula, mereka mengembangkan bisnis ini di kawasan Simpang Dago, Bandung, pada 2012 lalu.

Menurut Nova, kuliner di kedainya menyajikan variasi cita rasa kuah ramen yang sangat sedap dengan harga terjangkau. Kimchi, wakame, dan miso merupakan variasi kuah yang menjadi andalan bisnis kuliner tersebut. Sementara bakwan goreng ikan, ebi furai, katsu dan naruto merupakan daftar topping yang juga disajikan. Total, Yagami Ramen House memiliki 11 varian rasa kuah, baik asin, asam, pedas, hingga keju. Yang paling disukai pengunjung adalah Eca Ramen, di mana dibagian bawahnya terdapat kuah miso, tetapi di atasnya ada chili oil. Tersedia pula kaldu ayam murni.

Sebelum mendirikan restorannya, Nova sempat melakukan survei di Bandung dan menemukan tidak banyak restoran Jepang yang benar-benar menyediakan ramen berkualitas. Alhasil, dia pun rela berangkat ke Jepang untuk belajar membuat ramen. Menurutnya, di Indonesia memang banyak yang menjual ramen, tapi rasanya Indonesia sekali. Ada juga yang betul-betul berasal dari Jepang, tapi tidak halal. Sementara Yagami Ramen House menawarkan harga yang terjangkau, halal dan otentik. Bila pemilik kedai ramen yang lain hanya belajar melalui resep online, tetapi Nova langsung belajar langsung selama satu bulan ke Jepang.

Sasaran yang dibidik Yagami Ramen House adalah pekerja di perkantoran, kalangan pelajar dan mahasiswa, serta keluarga. Meski restoran yang menawarkan menu ramen semakin banyak, Yagami Ramen House mempunyai strategi untuk tetap bertahan. Yakni dengan menonjolkan varian ramen dengan rasa yang kuat. Harga yang ditawarkan sangat terjangkau. Anda bisa mendapatkannya dengan harga Rp 21 ribu hingga 45 ribu untuk per porsi ramennya. 

Karena pelanggan makin besar, Nova pun telah mengembangkan bisnisnya lewat kemitraan. Sejak akhir tahun 2013 silam, sistem waralaba telah diterapkan. Ada dua tipe investasi yang ditawarkan, yakni paket mini resto Rp 285 juta di luar sewa tempat, dan Rp 535 juta, full packed di luar sewa tempat. Nova menawarkan konsep resto yang unik dengan menggunakan desain interior Japanese pop culture yang didukung wallpaper dan lampion, serta fasilitas komik bagi para pengunjung.

Kini, ia sudah memiliki sejumlah outlet. Selain di Bandung, ada pula outlet di Jakarta (Menara Mulia), Cikarang, dan Kalimalang. Dalam sistem ini mitra berperan sebagai investor dan pengelolaan akan dilakukan oleh pihak Yagami Ramen House. Keuntungan, 70 persen bagi mitra dan 30 persen untuk pihak Yagami. Namun nanti setelah BEP, pembagian hasilnya menjadi 50 persen : 50 persen. Mitra akan mendapat perlengkapan dapur yang lengkap, peralatan saji, desain interior seperti wallpaper, bangku dan meja, lampion, dan sistem software untuk kasir. Biaya investasi itu juga sudah termasuk biaya pendampingan selama satu bulan, di mana calon pegawai akan dilatih di Bandung. Kelebihan Yagami Ramen House yang lain adalah, telah terdaftar menjadi anggota Elemen, yakni lembaga konsultasi franchise yang nantinya bisa membantu promosi.

PROFIL ENTREPRENEUR : ANDHANG APRIHARDHANTO, Bangun Bisnis Kuliner Dengan Mengangkat Cita Rasa Makanan Tradisional.

Panggilan jiwa mendorong Andhang Aprihardhanto membangun bisnis kuliner berlandaskan cita rasa seni. Melalu Kafe Tiga Tjeret yang ia buka, image wedangan pun bisa naik kelas. Pria kelahiran 5 April 1967 ini tumbuh dari keluarga yang mengajarkan arti kerja keras. Ayahnya, Bimo Seodijo, dulunya seorang PNS di Dinas Pariwisata, Solo. Sebagai pekerjaan sampingan, ayahnya juga menerima pesanan advertising. Meskipun hanya usaha kecil-kecilan, tapi lewat usaha advertising itulah Andhang tumbuh menjadi orang yang mencintai seni.

Ayahnya mengajari banyak hal. Pertama kali ia diajari cara mengecat. Setelah gesit mengecat, Andhang diminta membantu menggarap orderan reklame. Ia memang akhirnya ikut bekerja di tempat ayahnya. Apa saja ia kerjakan, seperti membantu mengatur tenaga kerja, membantu breakdown desain, hingga mengeksekusi grafis desainnya. Meski bekerja di usaha milik ayahnya, ia tak mendapatkan keistimewaan. Di sana ia digaji seperti karyawan lainnya. Menurut Andhang, didikan seperti itulah yang sangat membantunya menjadi seperti sekarang. Intinya, segala sesuatu tidak bisa didapatkan secara instan, melainkan harus ada prosesnya. Maka, Andhang patut bersyukur dengan beragam pembelajaran yang ia peroleh dari sang ayah.

Saat ini Andhang bekerja sebagai art director periklanan di Jakarta. Tak terhitung jumlah iklan yang sudah ia garap. Lewat pekerjaan ini ia benar-benar dituntut untuk bekerja keras. Setiap hari ia harus berhadapan degan deadline pembuatan iklan. Tapi semua itu ia jalani. Berbekal didikan kerja keras dari ayahnya, Andhang mampu bertahan menggeluti karier ini. Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari dua puluh tahun ia menekuni rutinitas sebagai art director bidang periklanan. Selama itulah ia harus bekerja di bawah tekanan yang begitu tinggi. Meski demikian, terlepas dari tuntutan kerja itu, ada begitu banyak pengalaman hidup yang ia dapatkan. Bukan hanya membuat jaringan, pekerjaan itu juga memicu ide dan kreativitasnya. Sebagai penata artistik bidang periklanan, ide dan kreativitas memang dituntut untuk terus ada.

Andhang sendiri tidak pernah lulus dari kuliahnya. Selulus dari SMA Santo Yosef, Solo, ia sempat kuliah di Jurusan Seni Rupa, Universitas Udayana, Denpasar, tapi hanya berjalan selama dua tahun. Setelah itu, ia pindah ke UNS Solo di tahun 1988. Tapi, itu pun hanya sebentar, alias hanya setahun ia kuliah di Solo. Tahun 1988, Andhang nekat pergi ke Jakarta untuk mencari kerja. Dari tahun itu hingga sekarang, ia mulai menggeluti profesi sebagai penata artistik periklanan. 

Tahun 2012, hidupnya mulai berubah. Selain melakoni profesi sebagai seorang art director, ia juga mulai merintis usaha kuliner. Usaha kuliner ini bisa dibilang saat di mana ia berhasil mengaplikasikan kreativitas seninya. Dan usaha kuliner yang ia rintis belakangan ini diakui sebagai trend setter usaha kuliner wedangan urban di Solo. Perjalanannya memulai usaha kuliner bermula dari mendapat undangan reuni SMA PL Santo Yosef di tahun 2012. Sudah 25 tahun ia dan teman-teman SMA-nya memang tak pernah bertemu, sampai kemudian muncul niatan dari para alumnus untuk sekedar berjumpa dan menjalin silaturahmi lagi. Ide awalnya reuni akan dilakukan di sebuah hotel atau restoran. Tapi, saat itu Andhang melontarkan ide, agar acara reuni di lakukan di sekolah saja.

Banyak perdebatan kala itu, karena jika menggunakan sekolah pasti akan lebih ribet, terutama untuk mengeset ruangannya. Karena tidak mungkin reuni hanya diselenggarakan di aula sekolah. Dan, Andhang yang sudah lama bergelut dengan dunia seni dan kreativitas mengusulkan reuni digelar di lapangan sepakbola sekolah dengan konsep pesta kebun. Masalah lalu muncul di pendanaan. Karena konsep seperti itu pasti akan menyedot banyak dana. Namun, Andhang berusaha meyakinkan teman-temannya, bahwa dana yang dikeluarkan sebetulnya tak banyak. Akhirnya, teman-temannya menyerahkan urusan desain eksterior kepadanya. Karena sudah terbiasa melakukan penataan artistik, tentu saja ini bukan hal yang sulit buatnya, bahkan sudah menjadi santapan sehari-hari. Untuk material desain eksterior, Andhang memanfaatkan barang yang sudah ada. Ranting-ranting pohon ditambahi kerlap-kerlip lampu akhirnya berhasil ia sulap menjadi sebuah desain yang menarik.

Singkat cerita, reuni yang digelar selama dua hari dua malam itu berlangsung sukses. Teman-teman semasa SMA-nya mengaku puas. Tanpa jasa EO dan desain dekorasi sendiri menjadi kredit plus. Reuni SMA inilah yang kemudian menjadi semacam tantangan baginya untuk merealisasikan mimpi merintis usaha kuliner wedangan. Mengapa wedangan ? Karena salah satu kebiasaan masyarakat Solo adalah nongkrong di wedangan atau lebih dikenal dengan nama HIK alias Hidangan Istimewa Kampung. Andhang memang punya cita-cita mengangkat makanan tradisional yang bercita rasa kekinian. Ia kemudian merangkai ide untuk menciptakan mimpinya itu.

Usaha kuliner wedangannya itu nantinya menggunakan bahan-bahan recycle. Memadukan kreativitas dengan barang bekas tentu saja akan memiliki nilai seni dan ekonomi yang tinggi. Prinsipnya adalah Do It Your Self (Lakukan semuanya dengan gayamu). Banyak orang yang berpikiran menciptakan usaha kuliner dengan mencari sesuatu yang tidak dipunyai. Misalnya, mencari materi-materi yang tidak dimiliki dan kemudian menebusnya dengan uang yang banyak. Andhang berpikir, mengapa logika tersebut tidak dibalik saja. Yaitu memanfaatkan apa-apa yang sudah kita punya. Karena sejatinya itu semua sudah dipersiapkan Tuhan untuk kita. Tinggal bagaimana mengelolanya. Akhirnya, pada Desember 2012 usaha kuliner Kafe Tiga Tjeret miliknya berdiri. Sebelumnya, selama empat bulan Andhang mencai tempat yang representatif untuk mengaplikasikan ide dan kreasinya ke dalam usaha kuliner.

Banyak yang bertanya, mengapa diberi nama Tiga Tjeret ? Jawabannya, ini tidak terlepas dengan ciri wedangan tradisional yaitu selalu ada tiga ceret di angkringannya. Karena ingin mengangkat wedangan lebih kekinian, Andhang kemudian menambahkan kata ‘kafe’. Dengan kata lain, ia ingin membuat wedangan ini naik kelas seperti urban cafe. Desain interior Tiga Tjeret pun sesuai angan-angannya. Andhang memanfaatkan botol dan kaleng bekas yang ia sulap menjadi lampu gantung unik. Kursi-kursinya pun dibuat dari daur ulang kursi bekas. Ia juga menambahkan konsep semi outdoor dengan tambahan beberapa tanaman agar terlihat natural.  

Bukan sekedar menjual suasana yang asyik. Melalui Tiga Tjeret, ia juga menyediakan makanan dan minuman yang tidak jauh dengan ciri khas wedangan. Andhang sengaja mengangkat makanan tradisional, karena misinya adalah membuat anak-anak muda memahami ragam makanan tradisional. Andhang mengaku, miris melihat anak-anak zaman sekarang yang lebih mengenal dan gandrung dengan makanan luar negeri. Anak-anak muda ini juga lebih bangga saat menyantap makanan asing daripada harus makan di angkringan. Karena itulah, ia memutar otak bagaimana caranya supaya anak-anak muda ini bisa bangga makan di wedangan. Satu-satunya cara tentu saja dengan membuat wedangan dengan gaya kekinian, sesuai selera anak muda.

Ada puluhan jenis wedang di Kafe Tiga Tjeret, mulai wedang serai, wedang jahe, hingga wedang teh. Karena ingin menarik anak muda. Andhang pun  menambah ragam jenis makanannya. Ada ratusan jenis makanan di Kafe Tiga Tjeret. Suasana nyaman bagi pengunjung benar-benar ia tekankan, selain tentu saja kualitas makanannya. Tak ayal, dalam beberapa bulan, kafe Tiga Tjeret menjadi ramai. Banyak anak muda dan keluarga meluangkan waktu berwisata kuliner di Tiga Tjeret. Hingga saat ini, Tiga Tjeret saban harinya dikunjungi tak kurang 500 pelanggan. Sementara setiap akhir pekan bisa mencapai 1000 pelanggan yang datang. Meski banyak pelanggan, tidak semuanya memesan makanan. Ada yang hanya sekedar minum atau nongkrong. Tapi, itu sama sekali tidak menjadi beban, karena intinya Andhang ingin membuat nyaman pelanggan.

Setelah dua tahun berlalu, ide kembali menari-nari di kepalanya untuk merintis usaha kuliner baru. Selain menyediakan ruang bagi anak muda untuk sekedar nongkrong, juga menjadi tempat mereka mengembangkan ide dan kreativitas seni. Berkaca pada pengalamannya, jiwa kreativitas anak muda harus diwadahi dalam sebuah ruang. Mereka perlu menyalurkan bakat dan kreasinya dengan benar. Dan itu membutuhkan tempat. Tahun 2104, Andhang akhirnya merintis Playground, untuk mewadahi jiwa seni anak muda. Playground ia bangun di Jalan Kenanga, Badran, Solo. Andhang masih menekankan prinsip Do It Your Self dalam mengonsep kafe ini. Ia juga masih menggunakan bahan-bahan recycle untuk material desain interiornya. Ia memanfaatkan barang bekas yang tidak terpakai milik temannya. 

Konsep ini menurut Andhang bukanlah bagian dari pengiritan. Kembali kepada filosofi hidup yang ia pegang, memanfaatkan segala hal sesuai dengan jangkauan tangan alias yang lebih dekat. Kalau memang barang-barang bekas itu bisa diberdayakan, mengapa tidak kita manfaatkan ? Toh, itu semua barang yang sudah tidak terpakai. Beberapa barang bekas itu antara lain kursi dan meja yang tidak terpakai, poster-poster iklan bekas, ada juga ranting pohon yang bisa dimanfaatkan untuk memperindah desain eksteriornya. Lalu ada pula botol bekas yang diset menjadi lampu. Meski mengambil nafas recycle, Andhang berusaha membuat para pengunjung nyaman nongkrong di situ. Ia yakin, jika kita nyaman di satu tempat, maka akan ketagihan untuk kembali ke tempat itu. Pengalamannya sebagai art director menjadi kelebihannya untuk membuat desain ruangan sesuai ide-idenya.

Di Playground, Andhang menyediakan ruang bagi anak muda pencinta film. Ia mempersilahkan komunitas film mengagendakan nonton karya film bareng-bareng. Ia juga mempersilahkan komunitas lainnya untuk menggelar workshop di Playground. Di Playground juga terdapat digital corner yang bisa dimanfaatkan pekerja seni untuk menyalurkan idenya. Ada beberapa piranti pendukung yang ia sediakan, seperti komputer dengan spesifikasi desain, printer, dan akses internet. Untuk urusan makanan, Playground kurang lebih sama dengan Kafe Tiga Tjeret. Ada juga jajanan makanan tradisional, sego kucing, beragam sundukan goreng, hingga es krim goreng. Harga makanan juga sama dengan harga di Kafe Tiga Tjeret. Andhang sengaja mengeset banyak kursi dan meja di Playground. Satu hal yang ia pelajari, anak muda senang dengan suasana yang crowd. Beberapa dari mereka lebih senang suasana yang riuh. Yang penting bisa ngobrol santai dengan teman-temannya.

Kebiasaan inilah yang coba Andhang tangkap. Karena itu, di kafe ini ia tidak menekankan pembeli segera keluar saat makanan sudah habis. Ia membiarkan mereka untuk ngobrol, supaya anak-anak muda itu merasa nyaman. Meski bisnis wedangan urban di kota Solo kini berkembang pesat, Andhang justru senang karena persaingan akan membuat bisnis kuliner wedangan semakin kompetitif. Ide dan kreasi menjadi taruhannya. Ia dituntut untuk membuat sebuah usaha kuliner yang adaptif dengan perubahan zaman.

Setelah Playground berdiri setahun, Andhang menjajal unit kuliner lain. Bersama teman, ia membuat kafe yang diberi nama Tradisi Ngopi pada Juni 2015. Konsep Tradisi Ngopi masih sama dengan konsep dua unit usaha sebelumnya, yakni menggunakan barang bekas sebagai material desain interiornya. Kali ini Andhang memanfaatkan pintu-pintu sebagai meja. Sebagai dekorasi dinding, ia tempel poster iklan lawas untuk memberikan kesan vintage. Namun, bukan hanya kesan vintage yang ingin ditonjolkan, tetapi suasana seperti layaknya sebuah rumah. Andhang ingin pengunjung mendapatkan sensasi seperti sedang bertamu ke rumah temannya. Jadi, mereka bisa dengan santai dan nyaman bersenda gurau bersama teman-temannya.

Meski namanya Tradisi Ngopi, bisa dibilang kafe ini bukan tempat bagi para pecandu kopi yang benar-benar memahami aroma dan racikan kopi. Karena, jualan Tradisi Ngopi memang bukan di situ, melainkan lebih pada tempat yang nyaman. Sajian kopi di sini ala kadarnya, seperti di rumah. Untuk makanan pun ia tetap menawarkan jajanan tradisional. Hanya beberapa bulan, Tradisi Ngopi ini pun ramai dikunjungi pelanggan. Lebih-lebih pada saat weekend.

Andhang mengakui, suksesnya usaha kuliner adalah anugerah baginya. Toh, meskipun membangun usaha kuliner memang merupakan angan-angannya, ia tidak muluk-muluk dalam merintis usaha. Tantangan yang ia hadapi adalah bagaimana membuat sebuah konsep agar para pengunjung nyaman. Dan Andhang meyakini, karakter pengunjung berbeda-beda di tiap daerah. Selama menggeluti bisnis kuliner ini, sekarang ia sudah memiliki delapan outlet kuliner, masing-masing Kafe Tiga Tjeret di Solo, Kafe Tiga Tjeret di Klaten, Playground Cafe di Solo, dan dua di Yogya, Tradisi Ngopi, Es Grim, dan Mie Pedes.

Melalui usahanya ini, Andhang benar-benar merasakan bahwa sejatinya Tuhan sudah menyediakan beragam hal agar kita bisa sukses. Tinggal kita sebagai manusia memanfaatkan dan mengolah anugerah Tuhan. Untuk berbisnis, tidak usah mencari hal-hal yang kita sendiri tidak punya. Kita manfaatkan pemberian Tuhan. Akal, perasaan, dan jiwa kreativitas yang diberikan-Nya kita manfaatkan. Dan tidak lupa, kerja keras juga menjadi modal bagi kita untuk sukses.

ORIYANE SHORTBREAD, Biskuit Renyal Asal Skotlandia Karya Ine Selia.

Berbisnis kue tidak hanya soal rasa, tapi juga harus mengandalkan kreativitas dan keunikan. Begitulah menurut Ine Selia Oriyane, pemilik usaha Oriyane Shortbread, biskuit berbentuk persegi panjang asal Skotlandia. Tidak banyak memang yang mengenal apa itu shortbread. Meski berasal dari Skotlandia, biskuit ini juga dibuat di Inggris, Irlandia, Denmark, dan Swedia. Disebut shortbread karena teksturnya yang rapuh. Alih-alih menggunakan telur, shortbread menggunakan mentega yang cukup banyak, sehingga serpihannya mudah rapuh ketika digigit.

Ine mengenal biskuit ini saat mengunjungi adiknya yang tinggal di Aberdeen, Skotlandia. Kemudian, ia yang memang hobi memasak, mulai mencoba membuat biskuit ini setibanya di Indonesia. Pada 2011, ia mulai memproduksi shortbread di rumahnya dengan bermodalkan uang sebesar Rp 5 juta. Sebagai ibu rumah tangga yang hobi memasak, ia pun mulai memproduksi shortbread dalam jumlah yang sedikit. Ine mengatakan, pada awalnya ia memasarkan kue tersebut kepada relasinya untuk dijadikan parsel dan hidangan hari raya Idul Fitri. Kemudian, dari situ jadi terkenal dari mulut ke mulut.

Selama ini, masyarakat Indonesia, mengenal berbagai macam kue kering, seperti nastar, kue salju, dan kastangel untuk dijadikan hidangan hari raya. Kemunculan shortbread cukup membuat orang penasaran dari segi nama dan bentuk. Pengemasan biskuit ini pun terlihat cantik, sehingga membuat orang tertarik untuk membeli. Ine menekankan hal ini bagi orang yang mau memulai bisnis kue. Pengemasan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk pemasaran. Namun, banyak pelaku usaha mikro yang tidak mempertimbangkan hal ini karena khawatir harus menjual dengan harga yang mahal. Padahal, pengemasan yang cantik, akan membuat produk tidak disepelekan oleh konsumen. Agar pengemasan tidak menaikkan biaya produksi, Ine memberi saran untuk membuat kemasan sendiri.

Setelah banyak yang mencicipi biskuit unik yang rasanya enak dengan tekstur rapuh dan gurih ini, Ine mulai banjir pesanan. Untuk menjaga kualitas, saat ini Ine hanya memproduksi shortbread melalui pesanan atau freshly order. Selain dari sisi kemasan dan rasa, sertifikat halal pun dinilai sangat penting. Sebelumnya, Ine baru mengantongi sertifikat pangan industri rumah tangga. Kini, ia sudah mendapatkan sertifikasi halal yang difasilitasi oleh Dinas Kementerian Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Bandung. Dengan mengantongi sertifikat halal tersebut, Oriyane Shortbread dapat mengikuti pameran di Malaysia International Halal Showcase (MIHS). Kemasan yang unik dan rasa yang enak membuat Ine kebanjiran pesanan dari negeri jiran. Setelah bergabung dengan Dinas Kementerian Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Bandung, Ine juga bisa memasarkan produknya melalui Little Bandung di Kota Shah Alam, Malaysia, pada Oktober 2016. Program Little Bandung yang digagas Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bekerja sama dengan Malaysia Indonesia Corporate House (MICH) itu juga turut membantu memasarkan Oriyane Shortbread di negara tetangga.

Saat ini, Ine telah mengantongi omzet sekitar Rp 15 juta per bulan dari rata-rata penjualan sebanyak 300-400 stoples. Selain dipasarkan via pesanan langsung, baik lewat telepon, Whatsapp, atau Instagram, Oriyane Shortbread juga dijual melalui Kemchick Department Store di Kemang dan Amanda Brownies di Dago Bandung. Untuk persediaan di kedua outlet tersebut, secara rutin Ine memasok sebanyak delapan hingga sepuluh kali per bulannya dengan bantuan pekerja sebanyak tiga sampai lima orang.

Bagi Ine, relasi merupakan hal yang penting dalam memasarkan produknya. Di era teknologi saat ini, media sosial sangat penting untuk pemasaran berbagai macam produk. Meski sekarang ini sudah memiliki Instagram, Ine mengaku ia masih kesulitan untuk menggunakannya, sehingga ia berencana untuk mengelola akunnya secara lebih profesional agar semakin menaikkan omzetnya.

BERBISNIS PERMEN PEZ UNTUK KOLEKSI.

Masih ingat dengan permen PEZ ? Tentu bagi anda yang generasi 90-an pasti sudah tidak asing lagi dengan permen yang satu ini. Permennya sendiri cukup enak, ada yang rasa stroberi dan jeruk. Permen yang pertama kali diproduksi di Austria pada 1927 ini memiliki daya tarik tersendiri dengan ciri khas dispensernya yang panjang dan memiliki ‘kepala’ bergambar tokoh kartun. Kemasannya yang dibuat dengan berbagai bentuk karakter kartun dan tokoh super hero biasanya dikoleksi sebagai gantungan kunci atau boneka. Tentu barang tersebut menjadi salah satu alternatif koleksi yang unik.

Lebih dari satu dekade lalu, permen PEZ sempat menjadi tren di kalangan anak-anak dunia, terutama Indonesia. Pilihan kemasan yang unik membuat peluang usaha ini cukup menjanjikan. Bagi Zuyina Hapsari, penjual toko daring (online) permen PEZ simbak.pez, menilai konsumen yang membeli produk permen ini tergolong hanya sekedar hobi. Permen PEZ memiliki pasar khusus lantaran harganya yang relatif mahal dan kelangkaan dari tokoh kartun tersebut.

Menurut Zuyina, para kolektor maupun pembeli biasanya berasal dari semua kalangan, baik anak-anak maupun orang dewasa. Namun, justru belakangan ini banyak pembeli dari kaum ibu-ibu yang tertarik mengoleksi dispenser PEZ. Karakter kartun yang menjadi incaran adalah Spongebob, Simpson, Pokemon, Star Wars, hingga Princess. Bagi para kolektor, memiliki produk permen PEZ yang berseri merupakan kebanggaan tersendiri.

Bisnis yang mulai dijalankan Zuyina sejak 2016 lalu ini telah mampu menyedot perhatian khalayak untuk membeli produknya. Ratusan koleksi PEZ yang dijualnya mulai edisi 1950 hingga 2010. Harga yang dibanderol sekitar Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu. Semakin jarang tipe PEZ-nya, semakin mahal juga harganya. Di Indonesia, satu pak permen PEZ terdiri dari dua bungkus permen dan satu dispenser. Sementara, kalau yang edisi impor, ada yang terdiri dari tiga bungkus permen atau satu bungkus permen. Permen PEZ koleksi vintage harganya bisa mencapai ratusan ribu sampai jutaan rupiah.

Namun, Zuyina mengatakan, saat ini permen PEZ sudah tidak bisa masuk lagi ke Indonesia. Ia juga tidak mengetahui secara pasti penyebabnya. Jika pun masih ada produk impor yang beredar, bisa dipastikan itu merupakan stok lama. Maka, pembeli permen PEZ ini pun semakin berkurang dan tersaring, hanya tinggal pembeli dengan status kolektor. Meski demikian, apabila ada keluaran terbaru, maka distributor PEZ di Indonesia masih secara konsisten memasarkan produknya.

KOKEDAMA : Si Bola Lumut Yang Hijaukan Rumah Tanpa Pot.

Bola lumut atau kokedama adalah teknik menanam dengan media tanam lumut. Cara ini merupakan seni tradisional asal Negeri Matahari Terbit, Jepang. Kokedama biasa disebut juga dengan bola lumut Jepang. Tanah yang ditanami benih lumut lalu dibentuk bulat, biasanya sebesar tempurung kelapa. Jika biasanya pot dijadikan sebagai tempat media tanam, maka kokedama adalah seni menanam tanpa pot. Bola lumut inilah yang berperan sebagai tempat tumbuh tanaman.

Awalnya dari kegemaran masyarakat Jepang yang sangat menyukai teknik menanam bonsai. Salah satu bentuk dan tekniknya adalah nearai yaitu tumbuhan ditanam tanpa pot. Ternyata teknik ini makin lama berkembang dengan menggunakan tanah lumut yaitu kokedama. Di Indonesia sendiri, kokedama makin digemari dan diadaptasi dengan berbagai tanaman. Salah satunya dilakukan Nelza Yesaya Hehamahua. Lewat IG @emilliegarden, Nelza mengembangkan kokedama dengan lumut kering dari Indonesia. Menurut Nelza, lumut di Indonesia lebih kering dibandingkan lumut Jepang, sehingga tanaman pun tidak bisa terlalu lembap.

Agar ciri khas Indonesia terlihat, bola lumut ini dibungkus dengan tali rami, sehingga bentuknya seperti keranjang buatan Indonesia. Tali rami tersebut juga berfungsi untuk menjaga bentuk kokedama tetap bulat. Ini berbeda dengan di Jepang, yang hanya memakai benang nilon. Diakui Nelza, begitu dijual di IG responsnya luar biasa. Namun, karena kokedama ini handmade maka pembuatannya tidak bisa terlalu banyak. Kendalanya saat membentuk bulatannya agak sulit. Malah, di awal Nelza membuat kokedama bentuknya lonjong. Tapi, menurutnya, asalkan telaten sebenarnya tidak ada yang sulit.

Selain itu, kokedama pun tidak bisa dicetak karena bisa merontokkan medianya. Media tanam tiap tanaman pun berbeda. Misalnya, kaktus harus lebih banyak pasirnya. Namun, enaknya kokedama tidak perlu memakai pot lagi, karena bola lumut ini telah berfungsi sebagai wadahnya. Jadi bila dilihat dari jauh, bentuknya seperti tanah, padahal itu adalah lumut. Perawatan kokedama juga sangat gampang. Saat penyiraman cukup disemprot (spray) saja agar basah. Atau, seminggu sekali celupkan di dalam ember selama semenit, tergantung seberapa kering kokedamanya.

Lalu, tiap akhir pekan diangin-anginkan di teras tapi jangan terkena matahari langsung. Setelah cukup, masukkan kembali ke dalam rumah. Karena itulah, banyak orang tertarik kokedama, karena perawatannya gampang, bentuknya unik dan lucu, dan bisa menjadi indoor planting. Kokedama pun tidak boleh kebanyakan air atau kekurangan air karena bisa mati. Jika dijemur langsung di matahari, daunnya bisa berwarna kuning. Untungnya, kokedama bisa diperbaiki jika akan tanaman masih bagus. Dan media kokedama juga perlu diganti setiap 6 bulan sampai setahun agar tetap segar.

Ide membuat kokedama ini berawal saat Nelza berprofesi sebagai desainer landscape. Biasanya klien memiliki kendala saat ingin memiliki taman hijau di rumah. Kendalanya adalah harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk tanaman, dan konsumen juga ingin memiliki tanaman yang perawatannya gampang, sekaligus bisa menjadi dekorasi di rumah. Lewat kokedama inilah ternyata menjadi jalan keluar berbagai kendala tersebut. Kokedama bisa dijadikan sebagai pengganti vertikal garden. Nelza menjelaskan, biaya untuk membuat vertical garden cukup mahal. Untuk ukuran satu meter saja bisa mencapai Rp 1 juta. Sementara dengan membeli 5 buah kokedama saja, lalu digantung, sudah bisa menjadi vertical garden.

Kisaran harga kokedama sangat terjangkau mulai dari Rp 60.000-100.000 tergantung jenis tanaman dan besar kecilnya kokedama. Tanaman hias apa saja bisa ditanam, mulai dari philodendron, seperti monstera, obliqua, berbagai jenis sirih, sansiviera, kaktus, dan sukulen. Menurut Nelza, saat ini jenis tanaman monstera sangat digemari karena keunikan dari bentuk daunnya yang berlubang-lubang. Monstera merupakan jenis tanaman lama yang kembali disukai orang dan sangat gampang merawatnya.

Jika tanaman mati, bisa direcovery lagi agar menjadi tanaman baru. Maka dari itu, saat membeli kokedama tentu juga harus tahu sifat tanaman yang dipilih, karena tiap tanaman berbeda-beda cara merawatnya. Ada yang suka air, tapi ada juga yang hanya disemprot saja sudah cukup. Uniknya, kokedama di setiap negara punya ciri khas masing-masing selain di Jepang. Misalnya, di Korea bentuknya kecil-kecil. Lumutnya pun lebih kelihatan berwarna hijau.

Agar tampilan Kokedama bertambah cantik, Nelza melakukan inovasi dengan menggantung kokedama dari makrame. Sebagai interior indoor, kokedama bisa digantung seperti terrarium dan tanaman gantung dalam pot. Tapi, pastikan mengikat si bola lumut ini dengan rapat tanpa membuatnya rusak. Kokedama pun bisa dipakai sebagai dekorasi ruang. Tak hanya diikat dengan tali rami, kokedama juga bisa dipercantik menggunakan tali aneka warna sebagai pengikat. Tali yang biasanya disamarkan kini justru sengaja diperlihatkan agar menarik perhatian. Tak hanya digantung, kokedama pun sangat cantik diletakkan di meja, rak buku, meja dapur, meja makan, hingga di pinggir jendela. Agar kokedama berdiri tegak, beri alas kayu yang berlubang di tengahnya. Padukan dengan pernak-pernik lain sehingga menjadi interior menarik di dalam rumah.