Panggilan jiwa mendorong Andhang Aprihardhanto membangun bisnis kuliner berlandaskan cita rasa seni. Melalu Kafe Tiga Tjeret yang ia buka, image wedangan pun bisa naik kelas. Pria kelahiran 5 April 1967 ini tumbuh dari keluarga yang mengajarkan arti kerja keras. Ayahnya, Bimo Seodijo, dulunya seorang PNS di Dinas Pariwisata, Solo. Sebagai pekerjaan sampingan, ayahnya juga menerima pesanan advertising. Meskipun hanya usaha kecil-kecilan, tapi lewat usaha advertising itulah Andhang tumbuh menjadi orang yang mencintai seni.
Ayahnya mengajari banyak hal. Pertama kali ia diajari cara mengecat. Setelah gesit mengecat, Andhang diminta membantu menggarap orderan reklame. Ia memang akhirnya ikut bekerja di tempat ayahnya. Apa saja ia kerjakan, seperti membantu mengatur tenaga kerja, membantu breakdown desain, hingga mengeksekusi grafis desainnya. Meski bekerja di usaha milik ayahnya, ia tak mendapatkan keistimewaan. Di sana ia digaji seperti karyawan lainnya. Menurut Andhang, didikan seperti itulah yang sangat membantunya menjadi seperti sekarang. Intinya, segala sesuatu tidak bisa didapatkan secara instan, melainkan harus ada prosesnya. Maka, Andhang patut bersyukur dengan beragam pembelajaran yang ia peroleh dari sang ayah.
Saat ini Andhang bekerja sebagai art director periklanan di Jakarta. Tak terhitung jumlah iklan yang sudah ia garap. Lewat pekerjaan ini ia benar-benar dituntut untuk bekerja keras. Setiap hari ia harus berhadapan degan deadline pembuatan iklan. Tapi semua itu ia jalani. Berbekal didikan kerja keras dari ayahnya, Andhang mampu bertahan menggeluti karier ini. Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari dua puluh tahun ia menekuni rutinitas sebagai art director bidang periklanan. Selama itulah ia harus bekerja di bawah tekanan yang begitu tinggi. Meski demikian, terlepas dari tuntutan kerja itu, ada begitu banyak pengalaman hidup yang ia dapatkan. Bukan hanya membuat jaringan, pekerjaan itu juga memicu ide dan kreativitasnya. Sebagai penata artistik bidang periklanan, ide dan kreativitas memang dituntut untuk terus ada.
Andhang sendiri tidak pernah lulus dari kuliahnya. Selulus dari SMA Santo Yosef, Solo, ia sempat kuliah di Jurusan Seni Rupa, Universitas Udayana, Denpasar, tapi hanya berjalan selama dua tahun. Setelah itu, ia pindah ke UNS Solo di tahun 1988. Tapi, itu pun hanya sebentar, alias hanya setahun ia kuliah di Solo. Tahun 1988, Andhang nekat pergi ke Jakarta untuk mencari kerja. Dari tahun itu hingga sekarang, ia mulai menggeluti profesi sebagai penata artistik periklanan.
Tahun 2012, hidupnya mulai berubah. Selain melakoni profesi sebagai seorang art director, ia juga mulai merintis usaha kuliner. Usaha kuliner ini bisa dibilang saat di mana ia berhasil mengaplikasikan kreativitas seninya. Dan usaha kuliner yang ia rintis belakangan ini diakui sebagai trend setter usaha kuliner wedangan urban di Solo. Perjalanannya memulai usaha kuliner bermula dari mendapat undangan reuni SMA PL Santo Yosef di tahun 2012. Sudah 25 tahun ia dan teman-teman SMA-nya memang tak pernah bertemu, sampai kemudian muncul niatan dari para alumnus untuk sekedar berjumpa dan menjalin silaturahmi lagi. Ide awalnya reuni akan dilakukan di sebuah hotel atau restoran. Tapi, saat itu Andhang melontarkan ide, agar acara reuni di lakukan di sekolah saja.
Banyak perdebatan kala itu, karena jika menggunakan sekolah pasti akan lebih ribet, terutama untuk mengeset ruangannya. Karena tidak mungkin reuni hanya diselenggarakan di aula sekolah. Dan, Andhang yang sudah lama bergelut dengan dunia seni dan kreativitas mengusulkan reuni digelar di lapangan sepakbola sekolah dengan konsep pesta kebun. Masalah lalu muncul di pendanaan. Karena konsep seperti itu pasti akan menyedot banyak dana. Namun, Andhang berusaha meyakinkan teman-temannya, bahwa dana yang dikeluarkan sebetulnya tak banyak. Akhirnya, teman-temannya menyerahkan urusan desain eksterior kepadanya. Karena sudah terbiasa melakukan penataan artistik, tentu saja ini bukan hal yang sulit buatnya, bahkan sudah menjadi santapan sehari-hari. Untuk material desain eksterior, Andhang memanfaatkan barang yang sudah ada. Ranting-ranting pohon ditambahi kerlap-kerlip lampu akhirnya berhasil ia sulap menjadi sebuah desain yang menarik.
Singkat cerita, reuni yang digelar selama dua hari dua malam itu berlangsung sukses. Teman-teman semasa SMA-nya mengaku puas. Tanpa jasa EO dan desain dekorasi sendiri menjadi kredit plus. Reuni SMA inilah yang kemudian menjadi semacam tantangan baginya untuk merealisasikan mimpi merintis usaha kuliner wedangan. Mengapa wedangan ? Karena salah satu kebiasaan masyarakat Solo adalah nongkrong di wedangan atau lebih dikenal dengan nama HIK alias Hidangan Istimewa Kampung. Andhang memang punya cita-cita mengangkat makanan tradisional yang bercita rasa kekinian. Ia kemudian merangkai ide untuk menciptakan mimpinya itu.
Usaha kuliner wedangannya itu nantinya menggunakan bahan-bahan recycle. Memadukan kreativitas dengan barang bekas tentu saja akan memiliki nilai seni dan ekonomi yang tinggi. Prinsipnya adalah Do It Your Self (Lakukan semuanya dengan gayamu). Banyak orang yang berpikiran menciptakan usaha kuliner dengan mencari sesuatu yang tidak dipunyai. Misalnya, mencari materi-materi yang tidak dimiliki dan kemudian menebusnya dengan uang yang banyak. Andhang berpikir, mengapa logika tersebut tidak dibalik saja. Yaitu memanfaatkan apa-apa yang sudah kita punya. Karena sejatinya itu semua sudah dipersiapkan Tuhan untuk kita. Tinggal bagaimana mengelolanya. Akhirnya, pada Desember 2012 usaha kuliner Kafe Tiga Tjeret miliknya berdiri. Sebelumnya, selama empat bulan Andhang mencai tempat yang representatif untuk mengaplikasikan ide dan kreasinya ke dalam usaha kuliner.
Banyak yang bertanya, mengapa diberi nama Tiga Tjeret ? Jawabannya, ini tidak terlepas dengan ciri wedangan tradisional yaitu selalu ada tiga ceret di angkringannya. Karena ingin mengangkat wedangan lebih kekinian, Andhang kemudian menambahkan kata ‘kafe’. Dengan kata lain, ia ingin membuat wedangan ini naik kelas seperti urban cafe. Desain interior Tiga Tjeret pun sesuai angan-angannya. Andhang memanfaatkan botol dan kaleng bekas yang ia sulap menjadi lampu gantung unik. Kursi-kursinya pun dibuat dari daur ulang kursi bekas. Ia juga menambahkan konsep semi outdoor dengan tambahan beberapa tanaman agar terlihat natural.
Bukan sekedar menjual suasana yang asyik. Melalui Tiga Tjeret, ia juga menyediakan makanan dan minuman yang tidak jauh dengan ciri khas wedangan. Andhang sengaja mengangkat makanan tradisional, karena misinya adalah membuat anak-anak muda memahami ragam makanan tradisional. Andhang mengaku, miris melihat anak-anak zaman sekarang yang lebih mengenal dan gandrung dengan makanan luar negeri. Anak-anak muda ini juga lebih bangga saat menyantap makanan asing daripada harus makan di angkringan. Karena itulah, ia memutar otak bagaimana caranya supaya anak-anak muda ini bisa bangga makan di wedangan. Satu-satunya cara tentu saja dengan membuat wedangan dengan gaya kekinian, sesuai selera anak muda.
Ada puluhan jenis wedang di Kafe Tiga Tjeret, mulai wedang serai, wedang jahe, hingga wedang teh. Karena ingin menarik anak muda. Andhang pun menambah ragam jenis makanannya. Ada ratusan jenis makanan di Kafe Tiga Tjeret. Suasana nyaman bagi pengunjung benar-benar ia tekankan, selain tentu saja kualitas makanannya. Tak ayal, dalam beberapa bulan, kafe Tiga Tjeret menjadi ramai. Banyak anak muda dan keluarga meluangkan waktu berwisata kuliner di Tiga Tjeret. Hingga saat ini, Tiga Tjeret saban harinya dikunjungi tak kurang 500 pelanggan. Sementara setiap akhir pekan bisa mencapai 1000 pelanggan yang datang. Meski banyak pelanggan, tidak semuanya memesan makanan. Ada yang hanya sekedar minum atau nongkrong. Tapi, itu sama sekali tidak menjadi beban, karena intinya Andhang ingin membuat nyaman pelanggan.
Setelah dua tahun berlalu, ide kembali menari-nari di kepalanya untuk merintis usaha kuliner baru. Selain menyediakan ruang bagi anak muda untuk sekedar nongkrong, juga menjadi tempat mereka mengembangkan ide dan kreativitas seni. Berkaca pada pengalamannya, jiwa kreativitas anak muda harus diwadahi dalam sebuah ruang. Mereka perlu menyalurkan bakat dan kreasinya dengan benar. Dan itu membutuhkan tempat. Tahun 2104, Andhang akhirnya merintis Playground, untuk mewadahi jiwa seni anak muda. Playground ia bangun di Jalan Kenanga, Badran, Solo. Andhang masih menekankan prinsip Do It Your Self dalam mengonsep kafe ini. Ia juga masih menggunakan bahan-bahan recycle untuk material desain interiornya. Ia memanfaatkan barang bekas yang tidak terpakai milik temannya.
Konsep ini menurut Andhang bukanlah bagian dari pengiritan. Kembali kepada filosofi hidup yang ia pegang, memanfaatkan segala hal sesuai dengan jangkauan tangan alias yang lebih dekat. Kalau memang barang-barang bekas itu bisa diberdayakan, mengapa tidak kita manfaatkan ? Toh, itu semua barang yang sudah tidak terpakai. Beberapa barang bekas itu antara lain kursi dan meja yang tidak terpakai, poster-poster iklan bekas, ada juga ranting pohon yang bisa dimanfaatkan untuk memperindah desain eksteriornya. Lalu ada pula botol bekas yang diset menjadi lampu. Meski mengambil nafas recycle, Andhang berusaha membuat para pengunjung nyaman nongkrong di situ. Ia yakin, jika kita nyaman di satu tempat, maka akan ketagihan untuk kembali ke tempat itu. Pengalamannya sebagai art director menjadi kelebihannya untuk membuat desain ruangan sesuai ide-idenya.
Di Playground, Andhang menyediakan ruang bagi anak muda pencinta film. Ia mempersilahkan komunitas film mengagendakan nonton karya film bareng-bareng. Ia juga mempersilahkan komunitas lainnya untuk menggelar workshop di Playground. Di Playground juga terdapat digital corner yang bisa dimanfaatkan pekerja seni untuk menyalurkan idenya. Ada beberapa piranti pendukung yang ia sediakan, seperti komputer dengan spesifikasi desain, printer, dan akses internet. Untuk urusan makanan, Playground kurang lebih sama dengan Kafe Tiga Tjeret. Ada juga jajanan makanan tradisional, sego kucing, beragam sundukan goreng, hingga es krim goreng. Harga makanan juga sama dengan harga di Kafe Tiga Tjeret. Andhang sengaja mengeset banyak kursi dan meja di Playground. Satu hal yang ia pelajari, anak muda senang dengan suasana yang crowd. Beberapa dari mereka lebih senang suasana yang riuh. Yang penting bisa ngobrol santai dengan teman-temannya.
Kebiasaan inilah yang coba Andhang tangkap. Karena itu, di kafe ini ia tidak menekankan pembeli segera keluar saat makanan sudah habis. Ia membiarkan mereka untuk ngobrol, supaya anak-anak muda itu merasa nyaman. Meski bisnis wedangan urban di kota Solo kini berkembang pesat, Andhang justru senang karena persaingan akan membuat bisnis kuliner wedangan semakin kompetitif. Ide dan kreasi menjadi taruhannya. Ia dituntut untuk membuat sebuah usaha kuliner yang adaptif dengan perubahan zaman.
Setelah Playground berdiri setahun, Andhang menjajal unit kuliner lain. Bersama teman, ia membuat kafe yang diberi nama Tradisi Ngopi pada Juni 2015. Konsep Tradisi Ngopi masih sama dengan konsep dua unit usaha sebelumnya, yakni menggunakan barang bekas sebagai material desain interiornya. Kali ini Andhang memanfaatkan pintu-pintu sebagai meja. Sebagai dekorasi dinding, ia tempel poster iklan lawas untuk memberikan kesan vintage. Namun, bukan hanya kesan vintage yang ingin ditonjolkan, tetapi suasana seperti layaknya sebuah rumah. Andhang ingin pengunjung mendapatkan sensasi seperti sedang bertamu ke rumah temannya. Jadi, mereka bisa dengan santai dan nyaman bersenda gurau bersama teman-temannya.
Meski namanya Tradisi Ngopi, bisa dibilang kafe ini bukan tempat bagi para pecandu kopi yang benar-benar memahami aroma dan racikan kopi. Karena, jualan Tradisi Ngopi memang bukan di situ, melainkan lebih pada tempat yang nyaman. Sajian kopi di sini ala kadarnya, seperti di rumah. Untuk makanan pun ia tetap menawarkan jajanan tradisional. Hanya beberapa bulan, Tradisi Ngopi ini pun ramai dikunjungi pelanggan. Lebih-lebih pada saat weekend.
Andhang mengakui, suksesnya usaha kuliner adalah anugerah baginya. Toh, meskipun membangun usaha kuliner memang merupakan angan-angannya, ia tidak muluk-muluk dalam merintis usaha. Tantangan yang ia hadapi adalah bagaimana membuat sebuah konsep agar para pengunjung nyaman. Dan Andhang meyakini, karakter pengunjung berbeda-beda di tiap daerah. Selama menggeluti bisnis kuliner ini, sekarang ia sudah memiliki delapan outlet kuliner, masing-masing Kafe Tiga Tjeret di Solo, Kafe Tiga Tjeret di Klaten, Playground Cafe di Solo, dan dua di Yogya, Tradisi Ngopi, Es Grim, dan Mie Pedes.
Melalui usahanya ini, Andhang benar-benar merasakan bahwa sejatinya Tuhan sudah menyediakan beragam hal agar kita bisa sukses. Tinggal kita sebagai manusia memanfaatkan dan mengolah anugerah Tuhan. Untuk berbisnis, tidak usah mencari hal-hal yang kita sendiri tidak punya. Kita manfaatkan pemberian Tuhan. Akal, perasaan, dan jiwa kreativitas yang diberikan-Nya kita manfaatkan. Dan tidak lupa, kerja keras juga menjadi modal bagi kita untuk sukses.