Secara harfiah, kata apresiatif (nomina: apresiasi) berarti bersifat menghargai nilai sesuatu, termasuk hasil budaya. Jadi, dalam konteks pemelajaran bahasa indonesia yang apresiatif, kata apresiatif mengacu pada pengertian bahwa pemelajaran bahasa indonesia harus juga diarahkan pada pembinaan sikap siswa untuk menghargai, menghormati, atau menjunjung tinggi akan kehormatan bangsa Indonesia, sebagai salah satu identitas nasional Indonesia. Kiranya hal-hal ini sangat penting, sebab hingga kini masih banyak orang Indonesia yang meremehkan eksistensi bahasa Indonesia. Mereka masih lebih menghargai bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Selain itu, salah satu tujuan pemelajaran bahasa Indonesia adalah membina rasa bangga terhadap pemilikan bahasa Indonesia. Bila ada kesadaran dan kebanggaan terhadap pemilikan bahasa Indonesia, maka mutu pemelajaran bahasa Indonesia akan menjadi baik.
Bagaimanapun rumusan mengenai pemelajaran bahasa Indonesia dalam kurikullum yang pernah ada dan yang berlaku sekarang yang lazim disebut kurikulum 2013, maka tujuan utama pemelajaran bahasa Indonesia “siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, lisan dan tertulis, sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti”. Namun, tujuan utama ini dari tahun ke tahun, dari kurikulum yang satu berganti kurikulum yang lain, tetap saja belum menuai hasil yang diharapkan. Mengapa? Kambing hitam yang biasa disalahkan guru, kurikulum dan bahan pelajaran.
Faktor guru, yang dikatakan tidak mampu mengajar atau bermutu rendah, telah “diobati” dengan berbagai penataran dan pelatihan. Malah untuk keperluan penataran dan pelatihan guru ini, pemerintah telah membentuk lembaga atau instansi permanen yang disebut P3GB (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Guru Bahasa). Kambing hitam kedua, kurikulum, yang sering disalahkan sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia modern, telah sering pula dibongkar pasang, dan dengan bantuan pakar asing. Tukang bongkar pasang kurikulum, yang disebut Pusat Kurikulum telah dibentuk secara permanen. Memang secara berkala kurikulum itu harus direvisi atau diperbaharui mengingat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berjalan ditempat. Kambing hitam ketiga adalah bahan atau materi pelajaran yang dikatakan selalu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini diatasi dengan pergantian buku, dalam bentuk paket yang selalu diperbaharui, serta melalui seleksi penilaian yang ketat.
Meskipun ketiga kambing hitam itu telah diatasi, tetapi hingga kini banyak orang masih berpendapat bahwa pemelajaran bahasa Indonesia di sekolah belum memberikan hasil yang diharapkan, yaitu dapat membuat siswa menggunakan bahasa dengan baik dan benar, secara lisan maupun tulis. Pada hemat kami, masih ada dua faktor yang menyebabkan kekurangberhasilan pemelajaran bahasa Indonesia itu. Kedua faktor itu adalah faktor kebijaksanaan dan faktor psikologis.
Faktor kebijan mengyangkut adanya aturan bahwa nilai mata pelajaran bahasa Indonesia di raport tidak boleh kurang dari enam. Kebijakan atau aturan ini sebenarnya bermaksud baik, yaitu untuk mengangkat martabat mata pelajaran bahasa Indonesia itu. Aturan itu dimaksudkan agar siswa mempelajari pelajaran bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh, dan guru pun dituntut untuk mengajar dengan sebaik-baiknya. Namun apa yang terjadi? Yang terjadi adalah kebalikannya, muri menjadi tidak memperlajari pelajaran bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh, sebab mereka tahu, kalau nilai pelajaran bahasa Indonesia kurang dari enam, pasti nanti akan dikatrol menjadi enam atau lebih. Sebaliknya kalau mata pelajaran lain, misal fisika atau matematika, kalau dapat empat atau lima tidak akan dikatrol menjadi enam atau lebih. Karena itu, mereka akan bersungguh-sungguh mempelajari mata pelajaran fisika dan matematika ini. Guru pun, agar tidak menjadi masalah dalam rapat kenaikan kelas, sudah mengantisipasi dengan memberikan nilai enam atau lebih, meskipun nilai sebenarnya jauh dibawah enam.
Faktor psikologis berkenaan dengan adanya pandangan dalam masyarakat luas bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa milik sendiri, yang sudah dipelajari sejak bayi atau sejak di bangku sekolah dasar. Karena itulah, kita lihat banyak guru yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia menjadi guru bahasa Indonesia. Beberapa waktu yang lalu ketika mata pelajaran bahasa Jerman dan bahasa Perancis dihapus atau dijadikan mata pelajaran elektif dari kurikulum SMA, banyak guru mata pelajaran tersebut, yang setelah diberi kursus sebentar, kemudian direkrut menjadi guru bahasa Indonesia.
Pandangan masyarakat yang meremehkan bahasa Indonesia dan mata pelajaran bahasa juga merambat kesikap dan pemikiran siswa. Hal ini harus diatasi. Mungkin dengan cara pemelajaran bahasa Indonesia yang apresiatif. Kalau ini bisa dilakukan, maka diharapkan dua tujuan utama pemelajaran bahasa Indonesia yaitu, (a) siswa merasa cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia, dan (b) siswa dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat dicapai.
Menurut Koentjaraningrat (1992) salah satu faktor penyebab rendahnya mutu atau kualitas bahasa Indonesia oleh banyak orang Indonesia adalah karena mereka memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Masalah kita sekarang apakah yang dimaksud dengan sikap negatif terhadap bahasa itu, atau secara umum apakah yang disebut sikap bahasa (language attitude) itu.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan sikap bahasa itu, terlebih dahulu haruslah dijelaskan apa itu sikap. Dalam bahasa Indonesia ada dua makna sikap. Pertama, sikap berarti atau mengacu pada bentuk tubuh, atau posisi berdiri yang tegak. Kedua, berarti gerak-gerik perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, singkat dalam arti kedua ini adalah fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriyah merupakan cerminan dari sikap batiniyah. Atau yang terdapat dalam batin tidak selalu keluar dalam bentuk perilaku yang sama yang ada dalam batin. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan sikap batin dan perilaku batin.
Oleh karena yang namanya sikap sikap ini yang berupa pendirian (pendapat atau pandangan) berada dalam batin, maka tidak dapat diamati secara empiris. Namun, menurut kebiasaan bila tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap yang ada di dalam batin dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir. Memang ada kemungkinan orang yang dalam batinnya sedih, tetapi tidak menampakkannya dalam tindakan atau perilaku lahir. Atau banyak juga orang yang bersikap pura-pura, seperti sedih, sebenarnya dalam batinnya marah, tetapi tidak menunjukan tindakan marah secara lahir.
Banyak penelitian yang dilakukan terhadap yang disebut sikap itu, terutama dalam kaitannya dalam psikologi sosial. Triandis (1971: 2-4), misalnya, berpendapat bahwa sikap kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada sikap mental atau kepada sikap “perilaku”. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan syaraf, yang terbentuk dalam pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1969: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka, atau tidak suka terhadap suatu keadaan, jika seseorang memiliki nilai rasa baik, atau suka terhadap suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif. Lalu komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaksi terhadap suatu keadaan. Melalui komponen konatif inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya.
Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya satu sama lain berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan” atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Kalau ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukan sikap (batin), tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap.
Banyak pakar yang memang menyatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukan sikap. Edward (1957: 7), misalnya, menyatakan bahwa sikap hanyalah suatu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku. Lalu, Oppenheim (1976: 71-75) malah dengan lebih tegas menyatakan, bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu sikap, norma, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan demikian, jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, dan juga bukanlah yang paling menentukan. Yang paling menentukan perilaku adalah kebiasaan.
Sejalan dengan Sugar, maka Oppenheim (1976: 75-76) menyatakan bahwa kita belum tentu dapat meramalkan perbuatan atas dasar sikap belaka. Sikap tidak hanya disimpulkan dari perbuatan, sebaliknya, perbuatan tidak dapat dengan sendirinya merupakan pernyataan sikap yang lebih besar daripada pernyataan verbal. Kaitan anatara sikap dan perbuatan adalah jaringan yang sangat rumit. Sementara itu, Edward (1957) menegaskan bahwa sikap sebagai penentu perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja dan belum tentu merupakan faktor terkuat. Maka, kalau kita hendak meramalakan perbuatan atas dasar perasaan atau sikap, faktor-faktor lain juga harus diperhitungkan. Sebaliknya, jika hendak menyimpulkan sikap atas dasar pengamatan perbuatan, faktor-faktor lain juga diperlukan. Dalam hal ini Triandist (1971: 6-16) malah menyatakan bahwa asumsi yang menyatakan sikap merupakan faktor perbuatan seseorang adalah tidak benar, paling tidak pernyataan yang lemah. Dia berpendapat malah sebaliknya, yaitu bahwa perbuatanlah yang menentukan sikap. Hubungan antara sikap dan perbuatan itu memang ada. Sikap berkaitan dengan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan ingin dilakukan oleh seseorang sehubungan adanya sesuatu atau sesuatu keadaan. Namun, perbuatan itu bukan hanya muncul berdasarkan keinginan belaka, tapi juga ditentukan oleh norma sosial yang berlaku, kebiasaan yang biasa dilakukan, dan oleh pikiran apa yang mungkin timbul bila perbuatan itu dilakukan.
Pakar lain, Anderson (1974: 37) membagi sikap itu atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap non kebahasaan, seperti, sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini (kebahasaan dan non kebahasaan) dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Maka dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sedangkan mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai), dan bisa negatif (kalu dinilai tidak baik atau tidak disenangi), maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan intelektual di Indonesia yang masih bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, disamping mereka yang bersikap positif (lihat Chaer, 1993). Keadaan sekarang memang sudah jauh berubah, yang bersifat negatif terhadap bahasa Indonesia sudah jauh berkurang jumlahnya. Hal ini terjadi berkat penjelasan, penerangan, dan kampanye yang dilakukan banyak pihak mengenai kemampuan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa nasional, bahasa negara, bahasa ilmu pengetahuan, malah bahasa perhubungan antarbangsa, setidaknya di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Garvin dan Mathiot (1968) ada tiga ciri sikap bahasa, yaitu, (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang membanggakan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, dan (3) kesadaran adanya norma bahasa (awakeness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Ketiga ciri yang dikemukakan Mathiot di atas merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya kalau ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap bahasa telah melanda diri orang atau kelompok orang itu. Tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu tanda bahwa kesetiaan bahasa mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Memang banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap bahasa lain, antara lain faktor politik, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya. Pada tahun lima puluhan banyak orang Indonesia yang merasa dirinya Belanda, bukan hanya tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasa Indonesia, malah malu untuk menggunakannya. Takut disebut “orang Indonesia”. Sikap negatif terhadap bahasa akan terasa lagi akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya. Tidak adanya kesadaran akan adanya norma bahasa membuat orang-orang seperti itu tidak merasa kecewa dan malu kalau bahasa yang digunakan kacau balau. Bila ditegur, mereka malah akan menyatakan “norma-norma adalah urusan para guru dan ahli bahasa, bukan urusan kita, orang awam”.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia, Halim (1978: 7) berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun, apakah berhasil masih tergantung lagi pada motivasi belajar siswa, yang banyak ditentukan oleh sikap siswa, terhadap bahasa yang sedang dipelajarinya.
Menurut Lambert (1967) motivasi belajar ini mungkin berorientasi pada perbaikan nasib yang disebutnya orientasi instrumental, dan mungkin juga berorientasi pada keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari, yang disebut orientasi integratif. Mengenai orientasi instrumental banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemahamannya luas, banyak dibutuhkan, dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang. Sedangkan orientasi integratif banyak terjadi bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya banyak digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnis tertentu.
Dari pembicaraan mengenai sikap bahasa di atas, yang bersikap postif, seperti dikemukakan Garvin dan Mathiot, akan (1) memiliki kesetaraan bahasa, (2) memiliki kebanggaan bahasa, (3) memiliki kesadaraan akan adanya norma bahasa. Lalu yang bersikap negatif tidak akan memiliki ketiga hal tesebut, akan menyebabkan orang akan menggunakan bahasa miliknya dengan tidak baik, akan menggunakan bahasa miliknya dengan menggunakan prinsip “pokoknya mengerti” (termasuk juga dengan mencampur-kode bahasa miliknya dengan bahasa orang lain), dan akan menggunakan bahasa yang bukan miliknya.
Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia, tampaknya kelompok pertama menggunakan bahasa dengan baik dan benar memang ada, tetapi sukar diprediksi jumlahnya karena bagi hampir sebagian orang Indonesia bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertamnya. Bahasa pertama mereka adalah bahasa daerah masing-masing. Yang berbahasa pertama bahasa Indonesia tentunya ada, tetapi berapa jumlahnya belum ada penelitian ke arah itu.
Kemudian yang berbahasa Indonesia dengan pokoknya “asal mengerti” tentunya, seperti Koentjaraningrat (1991) memang banyak. Mereka ini tentunya yang menyandang sikap negatif. Dalam hal ini mereka perlu dibedakan dari kelompok orang yang menggunakan bahasa yang “belum sempurna”. Kelompok ini tidak bersikap negatif, mereka bersikap positif, hanya pendidikan kebahasaindonesiaan mereka yang belum sempurna. Kalau pendidikan kebahasaindonesiaannya sudah sempurna mereka tentu dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sejak zaman reformasi tampaknya penggunaan bahasa Inggris oleh orang Indonesia semakin marak, baik sebagai alihkode, sebagai campurkode, maupun sebagai langue. Sebagai alihkode, artinya, kalimat-kalimat bahasa Inggris digunakan secara bergantian dengan kalimat-kalimat bahasa Indonesia dalam satu wacana atau suatu pokok tataran. Sebagai campurkode, artinya, serpihan-serpihan bahasa Inggris dimasukan atau digunakan dalam berbahasa Indonesia, dan hal ini adalah yang paling banyak dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan langue adalah bahasa Inggris digunakan dalam satu wacana atau satu pokok tataran secara utuh. Penggunaan bahasa Inggris sebagai satu langue ini, menurut Mulkan (1987) sampai pertengahan tahun delapan puluhan belum terjadi, tetapi sejak 2003 sudah terjadi. Yang melakukan malah Pemerintah Republik Indonesia sendiri (Kemendiknas) yang mendirikan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, di samping bahasa Indonesia.
Dala kasus digunakannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar proses belajar-mengajar di RSBI dan SBI, tampaknya para pejabat pengambil keputusan bukan hanya mewakili sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, tetapi mereka juga telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945, dan yang lebih parah lagi mereka telah mengalami erosi rasa kebangsaan. Lalu akibat lebih jauh dari digunakannya bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar dalam pendidikan formal akan berdampak yang sangat negatif dalam pembinaan bahasa Indonesia melaui sekolah-sekolah formal.
Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia bercampur dengan erosi rasa kebangsaan banyak menghinggapi anggota masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kita lihat saja nama-nama acara pada stasiun televisi yang sudah full English meskipun acaranya berlangsung dalam bahasa Indonesia, seperti Headline News, Breaking News, Today’s Dialogue, Economics challenger, Journalist Duty, Midnight Live, Family Financing Market, dan sebagainya. Lalu, dua buah Universitas di Jakarta, memiliki motto Building Future Leader (Universitas Negeri Jakarta), dan Leading With Japanese Spirit (Universitas Darma Persada). Malah dalam papan proyek pembangunan gedung Universitas Negeri Jakarta, terpampang nama Universitas itu dalam bahasa Inggris The State University of Jakarta, dan gedung-gedung yang dibangun disebut, Building I, Building II, Building III.
Semangat otonomi daerah juga telah menyebabkan pejabat-pejabat pemerintahan di wilayah Jakarta menjadi terjangkit erosi rasa kebangsaan serta lupa akan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga di wilayah Jakarta Timur banyak papan yang bertuliskan Nyok Bareng-Bareng Kite Jage dan Bangun Jakarta Timur. Lalu di muka lokasi pembayaran rekening PAM di Jakarta Timur ada tulisan berbunyi Pipa Bocor Jangan Diliatin Aje.
Semua ini menunjukan telah terjadinya sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, yang bercampur dengan pelanggaran Undang-Undang Dasar 1945 dan adanya erosi rasa kebangsaan.
Jika dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak dirubah konsep pengajarannya, maka bisa jadi lima tahun kedepan, tidak ada lagi generasi bangsa yang bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Saat ini bahasa gaul lebih trendi dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Padahal, dalam sumpah pemuda sudah jelas dinyatakan “kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Jadi tidak ada alasan lagi bagi para penerus bangsa, untuk tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah cara menghindarkan diri dari erosi rasa kebangsaan.
Setiap malam saya selalu meluangkan waktu khusus untuk sekadar menulis atau membaca, kegiatan tersebut saya lakukan awalnya untuk menulis di dunia maya semata. Namun setelah saya membaca banyak hal, saya mulai berpikir untuk memperbaiki kualitas diri yang semakin hari dituntut untuk selalu tampil maksimal dan berwawasan luas.
Saya tidak pernah membatasi diri harus membaca atau menulis pada suatu topik atau tema tertentu saja. Hal ini sengaja saya lakukan untuk mengasah lebih dalam lagi kemampuan merekam poin penting pada sebuah tulisan saat membacanya dan menularkannya pada tulisan yang ingin saya tulis.
Dari kegiatan tersebut agaknya membuat perubahan drastis pada diri saya, sebuah perubahan pengalaman berselancar pada dunia literasi yang memang tak berujung. Kemampuan membaca dan menulis semakin terasa, semakin mudah ketika saya ingin merangkai sebuah kata menjadi kalimat.
Sebenarnya untuk meningkatkan kualitas diri memang ada banyak cara sederhana, tergantung pada sisi mana dalam diri seseorang yang ingin ditingkatkan. Tempo hari saya menulis tentang “Membaca dan Menulis Berhubungan Erat”.
Semua itu saya lakukan karena ingin berbagi informasi meningkatkan kualitas diri, saat diri ini tidak tahu ilmu tentang sesuatu apapun itu, maka dengan sendirinya kita akan berusaha mencoba mencari tahu. Tuntutan agar menjadi tahu/mengerti, menuntun kita menyelami cara-cara Tuhan memberi ilmu kepada hamba-Nya. Bisa jadi lewat apa yang didengar, apa yang dirasakan, atau apapun yang dilakukan. Semuanya itu hanya akan dapat dilakukan oleh mereka yang sadar bahwa peningkatan kualitas diri itu mutlak diperlukan.
Alasan bagi banyak orang untuk tidak meningkatkan kualitas diri beragam, mulai dari kesibukan sampai pada kebingungan. “Saya terkadang juga berpikir apakah sesibuk itu hingga lupa pada upaya peningkatan kualitas diri, atau memang dirinya dilanda kebingungan sepanjang hari, hingga tak pernah mengetahui bagaimana cara meningkatkan kualitas diri? Entahlah”.
Yang jelas ketika kita memulai sesuatu apaun, cobalah untuk bertanya banyak hal pada diri sendiri atau biasa disebut muhasabah atau instropeksi diri. Dari situ nantinya akan dapat tergambar jelas sisi mana saja yang kurang dan memiliki kelebihan. Berdasarkan pada hasil muhasabah pula seseorang akan dapat memetakan apa dan bagaimana cara untuk meningkatkan kualitas diri agar berdaya guna.
Kesalahan yang fatal saya lakukan dan mungkin Anda juga melakukannya, yaitu ketika kita melakukan sebuah aktivitas dengan setengah hati, maka tak heran jika hasil yang didapat juga kurang maksimal.
Kebanyakan orang memiliki pola pikir money oriented disetiap aktivitas yang mereka jalani, Justru saya pribadi memaklumi, mungkin saja karena kebutuhan yang mereka perlukan tidak sebanyak seperti yang saya butuhkan saat ini.
Celakanya banyak orang yang tidak mau, serta cenderung menghindar tatkala mereka mendapati tugas atau pekerjaan yang tidak menghasilkan apa-apa bagi dirinya. Ini semua mencerminkan kualitas diri seseorang, dengan dan bagaimana orang luar sana menilai, sesungguhnya dari cara mereka melakukan aktivitas harian akan mudah sekali dibaca.
Hal-hal sederhana ini, memang menuntut aksi nyata bukan sekadar bertutur kata semata. Kualitas diri menyangkut banyak hal pada setiap sendi kehidupan yang seseorang jalani, kualitas diri juga berkaitan dengan mental yang dimiliki. Mari tingkatkan kualitas diri melalui apa yang sudah kita miliki, percayalah bahwa kualitas diri akan dapat menular di sekelilingnya, dengan memantaskan diri menjadi pribadi yang dapat dicontoh oleh banyak orang karena sisi positifnya.
Ekosistem adalah suatu sistem yang terbentuk karena terdapat hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik di sekitar. Tatanan kesatuan ini bersifat menyeluruh antara unsur lingkungan dengan kehidupan yang mana satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Ekosistem mencakup makhluk hidup yang meliputi hewan, tumbuhan, dan organisme lainnya serta lingkungan tidak hidup (abiotik) seperti cuaca, matahari, bumi, iklim, perairan, atmosfer, dll. Berikut adalah contoh ekosistem alami dan buatan lengkap beserta gambarnya. Langsung saja kita simak yang pertama:
Contoh Ekosistem Alami
1. Ekosistem Hutan Gugur
Hutan gugur adalah hutan yang dicirikan berisi pohon-pohon yang menggugurkan daunnya saat musim tertentu. Letak hutan gugur adalah antara 30o – 40o garis lintang utara dan lintang selatan dengan iklim sedang. Contohnya adalah pada negara Tiongkok, Korea, Jepang, dan Australia. Ekosistem hutan gugur terdiri dari flora seperti pohon oak, pohon pinus, pohon cemara, eukaliptus, dll. Sedangkan fauna pada ekosistem hutan gugur terdiri dari rakun, harimau, rusa, panda, beruang, tupai, dll.
2. Ekosistem Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis merupakan sekumpulan berbagai macam pohon dengan suhu hangat, lembab, dan curah hujan yang sangat tinggi. Letak hutan hujan tropis berada di sekitar garis khatulistiwa antara 23,5o lintang utara dan 23,5o lintang selatan serta terkonsentrasi antara 10o lintang utara dan 10o lintang selatan. Contoh hutan hujan tropis adalah yang terdapat pada Brazil di sekitar sungai Amazon dan pulau Kalimantan. Ekosistem hutan hujan tropis sangat kaya dan beragam. Adapun tumbuhan pada ekosistem hutan hujan tropis seperti pohon jati, pinus, anggrek, pohon mahoni, dll. Sedangkan hewan pada ekosistem hutan hujan tropis meliputi kupu-kupu, monyet, gajah, babi rusa, burung nuri hitam, burung kasuari, dll.
3. Ekosistem Padang Rumput
Padang rumput adalah dataran yang ditumbuhi rumput pendek dan tanaman non-kayu tanpa pohon berkayu. Padang rumput umumnya muncul di daerah yang memiliki curah hujan rendah sehingga hanya tumbuhan rumput yang dapat tumbuh disana serta ketinggian sekitar 900 – 4.000 meter diatas permukaan laut. Contoh padang rumput di Indonesia adalah yang terdapat di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ekosistem padang rumput terdiri dari tumbuhan rumput dan semak-semak. Sedangkan hewan yang terdapat di padang rumput biasanya juga pemakan rumput (herbivora) seperti rusa, kambing liar, gajah, jerapah, dll. Karena padang rumput mendukung beberapa spesies tumbuhan berbunga, maka lebah juga dapat ditemukan disini.
4. Ekosistem Laut
Laut adalah perairan air asin yang mengelilingi daratan yang mengisi 70 persen dari permukaan Bumi. Karena laut sangat luas dan dalam, di dalamnya menjadi kaya akan ekosistem. Ekosistem laut berisi hewan laut yang berbeda dengan hewan air tawar. Ekosistem laut terbagi menjadi tiga zona menurut tingkat kedalamannya yaitu zona litoral, zona neritik, dan zona oseanik. Tiap zona memiliki ekosistem yang berbeda. Ekosistem laut umumnya terdiri dari ikan, terumbu karang, alga, invertebrata, hingga mamalia.
5. Ekosistem Gurun
Gurun adalah suatu daerah dengan curah hujan sangat rendah yakni kurang dari 250mm/tahun. Ciri utama gurun adalah perubahan suhu yang ekstrem sehingga batuan lapuk membentuk lautan pasir. Karena sangat kering, maka di daerah gurun hampir tidak ada kehidupan termasuk tumbuhan. Meskipun ada, makhluk hidup di gurun harus mampu beradaptasi di lingkungan ekstrem ini. Gurun umumnya terletak antara 20 sampai 30 derajat lintang utara dan lintang selatan seperti di Afrika Utara, Asia Tengah, Timur Tengah, Australia, dan Amerika Serikat. Ekosistem gurun umumnya terdiri dari tanaman seperti kaktus dan pohon kurma. Sedangkan hewan pada ekosistem gurun terdiri dari unta, ular, kadal, dan serangga.
6. Ekosistem Danau
Danau adalah perairan yang berada di tengah daratan tepatnya pada cekungan di daratan. Danau umumnya berisi air tawar, bersih, dan tenang. Danau tersebar di banyak pulau dan benua. Danau terbesar di dunia adalah danau Laut Kaspia, sedangkan danau terluas di Indonesia adalah danau Toba. Ekosistem danau umumnya terdiri dari ikan, udang, ganggang, eceng gondok, dll.
7. Ekosistem Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan yang lebih banyak ditumbuhi rerumputan, semak, atau perdu sehingga sering juga disebut padang rumput. Hutan sabana terbentuk di daerah perpaduan antara iklim tropis dan sub tropis. Hutan sabana muncul disebabkan kurangnya curah hujan. Ekosistem hutan sabana umumnya terdiri dari tumbuhan seperti eukaliptus, baobab, dan rerumputan. Sedangkan hewan pada ekosistem hutan sabana terdiri dari kuda, zebra, gajah, hyena, dan kijang.
8. Ekosistem Tundra
Tundra adalah ekosistem berupa dataran luas tanpa pohon. Tundra terjadi karena lingkungan yang gelap dalam jangka waktu panjang karena matahari tidak terjangkau untuk menyinari area ini. Sehingga biasanya tundra ditemukan di daerah sekitar kutub. Ekosistem tundra umumnya terdiri dari rumput teki, lumut, bison kutub, rusa kutub, penguin, rubah, dll.
9. Ekosistem Taiga
Taiga adalah hutan yang tersusun atas hanya satu spesies pohon seperti pinus, konifer, dll. Tumbuhan tersebut mendominasi karena mampu bertahan terhadap suhu yang dingin. Sedangkan tumbuhan lain seperti semak dan tumbuhan basah sangat sedikit. Taiga dapat ditemukan di iklim subtropis dengan letak astronomis antar 60o sampai 70o garis lintang utara atau lintang selatan. Contohnya adalah yang terdapat di Rusia, Siberia, Alaska, dan Kanada. Ekosistem hewan pada taiga umumnya terdiri dari rusa besar, beruang hitam, beruang coklat, serigala, dan burung yang bermigrasi.
10. Ekosistem Sungai
Sungai adalah aliran air alami yang memanjang dan mengalir secara terus menerus dari hulu hingga hilir. Daerah hulu biasanya berada di dataran tinggi yang merupakan daerah tangkapan hujan. Sedangkan hilir merupakan pantai atau laut. Ekosistem sungai terdiri dari ikan, serangga, udang, siput, dan burung yang tinggal dan bergantung dengan sungai.
11. Ekosistem Rawa
Rawa adalah daerah rendah yang tergenang air. Umumnya berada pada ketinggian setara permukaan laut. Perairannya selalu ditutupi oleh tumbuhan. Rawa umumnya ditemukan pada bagian tengah dan hilir sungai atau di sepanjang pantai. Ekosistem rawa umumnya terdiri dari hewan seperti ikan sepat, burung, ular, dll. Sedangkan tumbuhan pada ekosistem rawa terdiri dari tumbuhan sepejam, tumbuhan genjer, dll.
12. Ekosistem Gunung
Gunung adalah gundukan tanah yang menonjol ke atas dan menjulang lebih tinggi dari daerah sekitar. Ketinggian gunung umumnya lebih dari 600 meter di atas permukaan laut. Gunung terbentuk karena aktivitas lempeng bumi atau magma. Ekosistem gunung umumnya terdiri dari pohon pinus, rerumputan, monyet, dan burung.
13. Ekosistem Gua
Gua adalah lubang berongga di bawah tanah. Gua umumnya terbentuk akibat adanya pelapukan batuan dan terkadang terdapat perairan di dalamnya. Gua umumnya sangat kurang mendapatkan cahaya matahari sehingga tidak terdapat vegetasi hijau. Ekosistem gua umumnya terdiri dari lumut kerak, ganggang, kelelawar, cacing, ular, dan lipan.
14. Ekosistem Stepa
Stepa adalah dataran tanpa pohon kecuali pada area dekat sungai atau danau. Stepa terbentuk akibat curah hujan rendah. Stepa ditemukan di Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Ekosistem stepa umumnya terdiri dari tumbuhan seperti rumput kerbau, kaktus, ialang, dan kerabat bunga matahari. Sedangkan hewan pada ekosistem stepa terdiri dari kelinci, elang, burung hantu dan ular.
15. Ekosistem Zona Litoral
Zona litoral adalah zona yang tergenang air apabila terjadi pasang dan mengering ketika tidak terjadi pasang. Zona ini disebut juga zona pasang surut. Ekosistem zona litoral umumnya terdiri dari bintang laut, udang, kepiting, cacing, dan tumbuhan bakau.
16. Ekosistem Pantai
Pantai adalah bentuk geografis di daerah pesisir laut yang terdiri dari pasir. Pantai menjadi batas antara daratan dan lautan. Tumbuhan pada ekosistem pantai umumnya terdiri dari ganggang dan bakau. Sedangkan hewan pada ekosistem pantai umumnya terdiri dari udang, kepiting, dan ikan.
17. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis alga dan membentuk struktur kalsium karbonat. Terumbu karang menjadi habitat hidup berbagai satwa laut dan menjadi gudang keanekaragaman hayati laut. Ekosistem terumbu karang umumnya terdiri dari ganggang/alga, hewan karang, ikan, ular laut, dan penyu.
18. Ekosistem Estuari
Estuari adalah kawasan transisi antara habitat air laut dan air tawar. Pada estuari sering terdapat lempengan lumpur yang luas atau rawa air asin. Tingkat keasinan air pada estuari berubah secara bertahap yang dipengaruhi siklus pasang surut. Ekosistem estuari umumnya terdiri dari hewan seperti ikan pipih, cacing rag, katak, kepiting, dan ular. Sedangkan tumbuhan pada ekosistem estuari terdiri dari rumput dan bakau.
19. Ekosistem Karst
Karst adalah bentangan alam yang terbentuk akibat proses pelarutan pada batuan karbonat atau batuan mudah larut lainnya (seperti batu gamping). Pelarutan tersebut menghasilkan bentuk yang unik dan menarik. Ciri-ciri karst umumnya adalah tandus, memiliki banyak gua, tanah berbatu, dan tidak ada aliran air permukaan. Ekosistem karst terdiri dari tumbuhan seperti jati, mahoni, sengon, dll. Sedangkan hewan yang hidup di ekosistem karst adalah hewan kelompok arthropoda dan kelelawar.
Contoh Ekosistem Buatan
1. Ekosistem Taman Hutan Raya
Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian dengan tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang asli atau bukan asli. Taman hutan raya bermanfaat sebagai kawasan penelitian, ilmu pengetahuan, konservasi, dan pariwisata. Contoh taman hutan raya adalah Taman Hutan Raya Ngurah Rai di Bali yang merupakan kawasan pelestarian hutan bakau. Hewan yang hidup di ekosistem Taman Hutan Raya Ngurah Rai adalah kepiting, moluska, ikan, dll.
2. Ekosistem Sawah
Sawah adalah tanah yang digarap manusia untuk menanam padi. Persawahan digarap sedemikian rupa agar digenangi air untuk mendukung pertumbuhan padi. Sawah menjadi ciri khas pertanian di kawasan Asia, terutama Asia Timur dan Asia Tenggara. Ekosistem sawah umumnya terdiri dari padi, gulma, tikus, ular, dan burung.
3. Ekosistem Bendungan
Bendungan adalah konstruksi yang dibangun manusia untuk menahan laju air sehingga menjadi genangan berupa waduk. Bendungan dimanfaatkan manusia untuk menyimpan cadangan air dan sebagai pembangkit listrik tenaga air. Ekosistem bendungan umumnya terdiri dari ikan, klambang, dan eceng gondok.
4. Ekosistem Kolam Ikan
Kolam ikan adalah genangan air buatan manusia yang dijadikan habitat buatan ikan. Umumnya berisi mesin pompa air untuk memutar air. Ekosistem kolam ikan umumnya terdiri dari ikan hias seperti koi dan tanaman air hias.
5. Ekosistem Waduk
Waduk adalah danau buatan manusia yang berukuran sangat besar. Waduk juga merupakan hasil dari adanya bendungan. Waduk dibuat untuk menyimpan air dan sebagai sarana rekreasi. Sama seperti bendungan, ekosistem waduk terdiri dari ikan, klambang, dan eceng gondok.
6. Ekosistem Kebun Binatang
Kebun binatang adalah suatu tempat berupa taman untuk mengumpulkan dan memelihara kesejahteraan satwa liar umum atau langka. Kebun binatang dibuat sebagai sarana rekreasi dan edukasi. Ekosistem kebun binatang tidak hanya terdiri dari binatang, namun juga ada beberapa pohon perindang dan tanaman hias.
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi di bumi serta persamaan, perbedaan, fenomena, dan kemudian manusianya. Geografi menggambarkan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi. Awalnya geografi disebut ilmu bumi karena lebih ditekankan pada nama tempat dan bentukan alam seperti gunung, danau, sungai, dll. Tetapi geografi memiliki ruang lingkup yang lebih luas termasuk gejala alam pada atmosfer. Geografi memiliki sudut pandang kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks keruangan.
1. Asal Mula Kata Geografi
Etimologi geografi berasal dari bahasa Yunani geo yang berarti “bumi” dan graphien yang berarti “pencitraan”. Sehingga secara harfiah geografi berarti pencitraan bumi atau penggambaran bumi. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Erastosthenes, seorang ilmuwan Yunani pada tahun 200 SM.
2. Arti Kata Geografi
Berikut adalah arti kata geografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Geografi merupakan nomina (kata benda) yang berarti:
Ilmu tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna, serta hasil yang diperoleh dari bumi.
3. Pengertian Geografi Menurut para Ahli
Menurut Claudius Ptolomaeus, geografi adalah suatu penyajian melalui peta sari sebagaian atau seluruh permukaan Bumi.
Menurut Karl Rither, geografi adalah suatu telaah tentang bumi sebagai tempat hidup manusia.
Menurut BisriMustofa, geografi adalah ilmu yang menguraikan tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna, serta hasil-hasil yang diperoleh dari Bumi.
Menurut John Mackinder, geografi adalah satu kajian mengenai kaitan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Menurut Immanuel Kant, geografi adalah ilmu yang sumber objek studinya berupa benda-benda, gejala, atau hal-hal yang tersebar luas di muka Bumi.
Menurut Erastothenes, geografi adalah penulisan tentang bumi.
Menurut Herioso Setiyono, geografi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya dan merujuk pada pola persebaran horizontal di permukaan Bumi.
Seni adalah ekspresi perasaan manusia ke dalam suatu media nyata yang memiliki unsur keindahan. Seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah dan membawa kesenangan. Seni mengandung imajinasi dan gagasan sang pembuat yang dirancang sedemikian rupa agar tersampaikan ke setiap orang yang menikmati hasil karyanya. Seni terdiri dari berbagai macam cabang. Berikut adalah cabang-cabang seni. Langsung saja kita simak yang pertama:
1. Seni Rupa
Seni rupa adalah cabang seni yang menghasilkan karya seni yang dapat dilihat oleh indera penglihatan dan diraba oleh indera peraba. Hal ini sesuai dengan arti kata “rupa” yang berarti keadaan yang tampak dari luar (bentuk). Seni rupa terbagi menjadi dua jenis berdasarkan fungsinya yaitu seni rupa murni dan seni rupa terapan. Fungsi seni rupa murni adalah sebagai pajangan atau hiasan sehingga keindahannya dapat dinikmati oleh orang lain. Sedangkan fungsi seni rupa terapan adalah sebagai alat untuk membantu kehidupan manusia. Contoh seni rupa adalah lukisan, patung, kerajinan keramik, arsitektur, pakaian (fashion), dan senjata tradisional.
2. Seni Tari
Seni tari adalah cabang seni yang menghasilkan suatu gerak tubuh yang mengikuti irama tertentu. Seni tari menggabungkan tiga unsur yaitu wiraga (raga/gerak badan), wirama (irama), dan wirasa (rasa/penjiwaan). Tarian umumnya dipadukan dengan pertunjukan musik untuk mendukung irama, baik itu musik tradisional maupun musik modern, atau kolaborasi keduanya. Contoh seni tari adalah tari pendet, tari saman, tari kecak, tari tor-tor, dan berbagai macam tari kreasi seperti tari manuk rawa yang berasal dari Bali.
3. Seni Musik
Seni musik adalah cabang seni yang menggunakan suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung lagu, irama, dan keharmonisan. Suara tersebut dapat berasal dari alat musik maupun suara vokal manusia. Seni musik digunakan secara luas baik sebagai sarana hiburan, pendidikan, komersial, ritual upacara, dll. Seni musik dibagi menjadi tiga jenis yaitu musik klasik, populer, dan tradisional. Contoh seni musik adalah musik keroncong, musik gamelan, musik rock, musik jazz, dll.
4. Seni Sastra
Seni sastra adalah cabang seni yang menggunakan rangkaian kata-kata membentuk suatu tulisan yang dapat dinikmati oleh pembacanya. Seseorang dapat menikmati seni sastra baik dengan cara membacanya atau dibacakan orang lain. Seni sastra dibagi menjadi dua yaitu puisi dan prosa. Puisi adalah seni sastra yang menggunakan kaidah dan pedoman tertentu sehingga lebih kaku. Sedangkan prosa adalah seni sastra yang tidak terikat dengan kaidah atau pedoman tertentu. Contoh seni sastra adalah puisi, novel, cerpen, pantun, dll.
5. Seni Teater
Seni teater adalah seni peran yang dimainkan oleh beberapa orang sesuai peran masing-masing. Seni teater menggabungkan unsur seni tari, seni sastra, seni rupa, dan seni musik. Proses menciptakan seni teater terdiri dari penyusunan/pemilihan naskah, penggarapan, penafsiran, dan penyajian/pementasan di hadapan publik. Secara luas, seni teater juga berarti seluruh kegiatan adegan/peran di atas panggung walaupun tidak dimainkan oleh beberapa orang seperti wayang. Contoh seni teater adalah ketoprak, wayang, lenong, dll.
6. Seni Berwawasan Teknologi
Seni berwawasan teknologi adalah cabang seni tambahan yang menggunakan teknologi tinggi yang menggabungkan semua seni. Munculnya seni berwawasan teknologi pertanda bahwa seni mampu berpadu dengan teknologi sehingga menciptakan seni dan pengetahuan baru. Contohnya adalah seni sinema (film).
7. Perbedaan Setiap Cabang Seni dalam Bentuk Tabel
Berikut adalah perbedaan antara enam macam seni dalam bentuk tabel.
Cabang Seni
Bentuk Media
Indera Penikmat
Matra/Dimensi
Seni rupa
Benda
Penglihatan, perabaan
dwimatra (dua dimensi atau trimatra (tiga dimensi)
Seni tari
Gerakan tubuh, musik
Penglihatan, pendengaran
Trimatra, waktu
Seni musik
Vokal, instrumen musik
Penglihatan, pendengaran
Trimatra, waktu
Seni sastra
Tulisan
Penglihatan, pendengaran (apabila dibacakan)
Dwimatra
Seni teater
Gerakan tubuh, peran, adegan, musik, benda (properti)
Penglihatan, Pendengaran
Trimatra, waktu
Seni berwawasan teknologi
Gerakan tubuh, peran, adegan, musik, benda (properti), teknologi
Adaptasi tingkah laku adalah penyesuaian organisme terhadap lingkungan dalam bentuk tingkah laku. Adaptasi tingkah laku merupakan salah satu bentuk penyesuaian makhluk hidup dengan lingkungannya selain penyesuaian bentuk alat tubuh dan fungsi tubuh. Adaptasi ini bisa didapat dari hasil belajar atau naluri alamiah sejak lahir. Tujuan adaptasi tingkah laku adalah untuk bertahan hidup.
1. Tujuan Adaptasi Tingkah Laku
Berikut adalah tujuan makhluk hidup melakukan adaptasi tingkah laku:
Untuk melindungi diri dari pemangsa.
Untuk bertahan hidup dari perubahan iklim atau perubahan proses fisiologis.
Untuk memperoleh makanan.
2. Macam-Macam Adaptasi Tingkah Laku
Tingkah laku untuk sosial. Yang umumnya dilakukan oleh hewan yang hidup berkelompok.
Tingkah laku untuk perlindungan diri.
3. Contoh Adaptasi Tingkah Laku
3.1 Contoh Adaptasi Tingkah Laku pada Hewan
3.1.1 Mimikri
Mimikri adalah kemampuan mengubah warna kulitnya agar sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Apabila hewan tersebut berada di atas daun, maka hewan tersebut mengubah warna kulitnya menjadi hijau daun. Sedangkan apabila hewan tersebut berada di batang pohon berwarna coklat, maka hewan tersebut akan mengubah warna kulitnya menjadi coklat. Contoh hewan yang melakukan mimikri adalah bunglon.
3.1.2 Autotomi
Autotomi adalah teknik bertahan hidup dengan mengorbankan salah satu bagian tubuh. Bagian tubuh tersebut adalah ekor. Setelah dipotong, ekor tersebut tetap menggeliat sehingga menarik perhatian pemangsa dan hewan yang melakukan autotomi memiliki kesempatan untuk kabur. Contoh hewan yang melakukan autotomi adalah cicak dan sebagian gecko (tokek).
3.1.3 Muncul ke Permukaan Air
Mamalia yang hidup di perairan memiliki tingkah laku muncul ke permukaan air secara teratur. Tujuannya adalah untuk bernapas mengingat hewan ini bernapas dengan paru-paru meski hidup di perairan. Sesekali juga hewan tersebut menyemburkan air dari lubang di atas tubuhnya sebagai hasil dari proses pernapasan. Contohnya adalah paus dan lumba-lumba.
3.1.4 Estivasi
Estivasi adalah proses ketika hewan menonaktifkan diri saat lingkungan sekitar terlalu berbahaya sehingga dapat mengancam kehidupannya. Umumnya estivasi dilakukan ketika suhu lingkungan sangat panas pada musim kemarau. Estivasi berbanding terbalik dengan hibernasi yang mana dilakukan saat cuaca dingin pada musim dingin. Contoh hewan yang melakukan estivasi adalah siput darat, buaya, katak, dan lemur.
3.1.5 Menggulung Tubuh
Menggulung tubuh merupakan perilaku yang dilakukan hewan berukuran panjang untuk melindungi diri dari ancaman. Contoh hewan yang memiliki tingkah laku menggulung tubuh adalah kaki seribu.
3.1.6 Menyemprot Tinta
Hewan seperti cumi-cumi dan gurita memiliki kantong yang berisi cairan hitam seperti tinta. Ketika ancaman datang, hewan tersebut akan menyemprotkan cairan hitam tersebut ke dalam air. Sehingga hewan pengancam tersebut tidak dapat melihat sehingga cumi-cumi atau gurita bisa kabur.
3.1.7 Berendam di Kubangan Air
Terdapat pula hewan yang memiliki kebiasaan berendam di kubangan air/lumpur. Contohnya adalah kerbau. Kerbau merupakan hewan bertubuh besar dan memiliki jaringan lemak yang tebal sehingga tubuhnya mudah panas. Maka dari itu, kerbau kerapkali berendam di kubangan air/lumpur untuk mendinginkan tubuh.
3.1.8 Hibernasi
Hibernasi adalah kondisi ketika hewan tidak aktif untuk memperlambat proses metabolisme yang bertujuan untuk menghemat energi. Hewan melakukan hibernasi ketika musim dingin tiba. Hal itu dikarenakan pada musim dingin sangat sulit mencari makanan. Contoh hewan yang melakukan hibernasi adalah beruang, landak, hamster, tupai, dan lemur.
3.1.9 Mengeluarkan Bau
Beberapa hewan seperti kepik, sigung, dan walang sangit memiliki kemampuan mengeluarkan bau yang menyengat. Bau tersebut berasal dari kelenjar di tubuhnya. Bau dikeluarkan ketika hewan tersebut merasa terancam. Bau tersebut membuat hewan pengganggu atau pemangsa enggan mendekatinya.
3.1.10 Pura-Pura Mati
Terdapat beberapa spesies hewan yang memiliki tingkah laku yang unik ketika merasa terancam, yakni pura-pura mati. Contoh hewan yang beradaptasi dengan cara pura-pura mati adalah tupai Virginia. Bahkan tupai tersebut mengeluarkan busa dari mulutnya sehingga tampak benar-benar mati. Ketika pemangsa lengah, tupai tersebut akan segera melarikan diri.
3.2 Contoh Adaptasi Tingkah Laku pada Tumbuhan
3.2.1 Gutasi
Gutasi adalah proses pengeluaran air dalam wujud cair oleh tumbuhan. Gutasi berbeda dengan transpirasi yang mengeluarkan air dalam wujud gas (ke udara). Air dalam wujud cair dikeluarkan melalui hidatoda. Gutasi terjadi ketika terjadi penyerapan air secara terus menerus, laju transpirasi yang rendah, dan kelembaban tinggi. Gutasi ditandai dengan adanya tetesan air pada bagian tepi daun.
3.2.2 Menggugurkan Daun
Beberapa spesies tumbuhan seperti pohon jati beradaptasi terhadap musim kemarau dengan cara menggugurkan seluruh daunnya. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi penguapan yang menyebabkan tumbuhan tersebut kehilangan banyak air saat musim kering. Selain itu, daun yang gugur akan menutupi tanah di bawah tumbuhan tersebut sehingga menghambat pertumbuhan gulma atau tumbuhan lain yang dapat menjadi pesaing merebut air.
3.2.3 Menguncup
Tumbuhan putri malu dikenal memiliki tingkah laku yang unik yakni mengatup apabila terkena suatu rangsangan seperti sentuhan, tiupan angin, goyangan, dan panas. Sehingga tumbuhan ini tampak layu. Namun daunnya akan kembali pulih beberapa menit kemudian. Adaptasi ini juga terjadi pada tumbuhan anggota polong-polongan, namun reaksinya tidak secepat putri malu.
3.2.4 Menggulung
Tumbuhan jagung memiliki adaptasi tingkah laku dengan cara menggulungkan daunnya. Tumbuhan jagung menggulungkan daunnya ketika cuaca panas dengan tujuan mengurangi penguapan air. Mengingat daun jagung memiliki struktur yang lebar sehingga dapat mempercepat penguapan.